Ini adalah tulisan dialog (imajiner) Siska dan Peri dalam membentuk konsep. Siska menawarkan materi pertunjukan walking roasting yang sebelumnya telah dipentaskan pada program Ngetest #2 untuk diikutkan ke pameran Jelajah Jala. Siska memulai dari pertanyaan, Kayanya, kita perlu menguraikan kembali Walking Roasting itu, Sudarah Peri.
Peri: Walking Roasting kan dirancang dari motif rantau diriku dan dirimu. Kita kan menguraikannya dari pertanyaan kenapa kita merantau? Kamu percaya bahwa tindakan rantaumu itu membawa serta epistemik budaya minang, sedangkan diriku motifnya pragmatis. Karena aku sekolah dan kerja, tanpa itu aku tidak mungkin merantau. Namun aku percaya, bahwa perubahan ruang memantik tindakan-adaptasi yang kompleks.
Siska: betul, tindakan adaptasi itu segendang-sepenarian dengan pergerakan merambah ruang atau pengetahuan baru. Yang mana kita akan terus membuat jalan eksperimentasi atas diri kita. Keadaan rantauku hingga kini membentangkan makro-hasrat yang liar, dan hal tersebut harus kubeli dengan cara berlari meski keadaanku tidur. Kamu bisa membayangkan bunga mimpiku bergetah-keringat, model ibu-ibu habis zumba, Sudarah. Makanya tampilanku di acara “Ngetest” si Otniel Tasman tak pernah memiliki istirah, ya, istirahku adalah bergerak, menatap orang-orang, orang-orang menatap balik seakan menghendaki tubuhku untuk berlari, sampai aku lupa tersenyum dan lupa sedang lapar. Qiqiqiqiqi.
Peri: wkwkwkwkw.. begitu dramatik ya rantaumu. Penuh perjuangan. Jika aku boleh minta maaf, “aku minta maaf, ya”. Karena pada saat pertunjukan kita, aku menatapmu dari layar hp (streaming dari perjalanan rumahku ke tempat pertunjukan), seakan kepragmatisanku itu adalah manifestasi dari tatapan ruang yang intervensif pada laku-gerakmu di panggung, ditampilkan melalui infokus yang berbentuk layar android. Kadang aku lemparkan mata kameraku ke arah jalan, ke gedung-gedung, dan aku ngoceh-ngoceh gak jelas. Kadang aku membuka arsip chat WA pertemuan kita, kadang aku membuka file video call. Memang keadaan rantauku membentangkan landscap jual-beli antara tuan-budak, atasan-bawahan, buruh dan korporat. Dimana aku sendiri adalah perpanjangan rezim kapital.
Siska: yoi, kamu sejatinya memiliki modal simbolik, Sudarah. Enak sekaligus tidak enak kan? Wkwkwkw.. Sedangkan aku hanya memiliki tubuhku yang selalu kuoperasikan waspada, seperti Ulu Ambek yang mengajarkanku waspada di ranah rantau.
***
Alienasi Siska-Peri: Pertunjukan kami sejatinya membingkai dua motif rantau. Keduanya beroperasi dalam tindakan yang menumpuk, tidak berupaya saling respon dalam makna denotatif, namun keduanya saling menggeledah dalam makna konotatif.
Peri: kayanya aku nemu tuh motif untuk Pameran; Modal Simbolik-Walking Roasting; arsip pembentukan dan video pertunjukan. Tapi perlu kita roasting sehingga habitus pertunjukan dan pameran menjadi cair.
Siska: wah aku jadi punya bayangan bagaimana kalau kita menciptakan lorong rantau untuk pengunjung.
Peri: menarik tuh, pengunjung bisa kita tempatkan sebagai subjek-objek yang mengalami citra rantau sekaligus bisa memberikan inside baru yang sebelumnya (mungkin) tak terlacak oleh kita. Lorong itu bisa kita bayangkan menjadi tikar pandan (arena Ulu Ambek), dan aku mungkin akan menggambar tikar itu menjadi gim ular tangga. Di setiap petakan nomor kita isi dengan barang seperti oleh-oleh makanan, kostum daerah, kostum pentas dirimu, atau interpensi verbal supaya mereka melakukan sesuatu di dalam petak tersebut. Barang-barang itu bisa direspon (dimakan/dipakai) bahkan untuk barang tertentu bisa ditukar oleh pengunjung.
Siska: Dan di petak akhir, kita bisa membayangkan diri kita adalah arena refleksi. Kita bisa hadir di sana secara ephemeral atau mewakilkan kehadiran dalam bentuk barcode yang menghubungkan mereka ke dalam grup WA, yang setiap saat (masa pameran) bisa kita jalin refleksinya.
Peri: dan Arsip chat-nya bisa kita screen shoot. Dan kita tempel di petak akhir (kalau kita hadir secara langsung, screen shoot-an bisa kita tempel di badan atau bisa kita display di petak akhir itu). Menganai arsip video pentas kita, bisa kita putar dan sorotkan ke tikar pandan. Akan lebih menarik, jika ada satu kamera/cctv yang terhubung dengan tv, merekam aktivitas semuanya.
***
Alienasi Peri dan Siska: pada dasarnya modal simbolik walking roasting adalah arsip pertunjukan yang dioperasikan ulang dalam bentuk gim ular tangga, gim akan menawarkan sensasi rantau bagi pengunjung yang memainkannya, peri dan siska akan menjadi areana refleksi, pengunjung bisa merefleksikan sensi secara ephemeral (salam-sapa, menari, teriak, dsb) atau diskusi performatif melalui scan barcode yang terhubung ke WA grup. Semua tindakan di area pameran (kami) akan menjadi arsip tumbuh sekaligus wahana untuk menjelajahi epistemik rantau dari bayangan dan dihabitus pengunjung yang dinamis. Bahwa kenyataan sosial sejatinya berada dalam ruang yang setiap saat memproduksi berbagai kepentingan. “Walking Roasting Resep Baku Ma’em” adalah strategi subjek untuk menyingkap dan beradaptasi dengan multi-ruang yang terus-terusan memproduksi ragam kepentingan.
*
Siska: tapi, sudarah-Peri, aku telah mendapat wangsit alias bisikan segar. Konsep kita telah lebih dulu diajukan oleh seniman lain, konon mirip. 11, 12.
Peri: dunia ini memang beginu, artine ruang sosial sebagai ruang produksi berbagi kepentingan telah menjadi arena keresahan bersama. Saya jadi membayangkan orang-orang yang memiliki keresahan bersama ini bisa terhubung dan menciptakan praktik-praktik alternatif untuk terus menantang ruang “hari esok”, mungkin akan banyak meninggalkan artefak, yang dari sejak awal kita yakini sebagai lorong itu.
Siska: iya, ya. Ya sudahlah kita ikhlaskan saja.
Peri: pameran di dalam kepala kita saja, bagaimana?
Siska: lebih organik. Yes!
Peri: Yu!
Biodata: Peri Sandi Huizche, Seniman