Deskripsi Kegiatan
TILIKAN yang berarti hasil menilik, pandangan atau pendapat, merupakan kegiatan diskusi ringan tetapi mendalam secara daring maupun luring dengan mengundang narasumber atau pemantik diskusi untuk membahas sisi lain yang khas, otentik dan terbuka terkait proses kreatif atau pengalaman artistik dari pribadi narasumber maupun pandangannya terhadap apa yang ada di luar dirinya.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Tilik Sarira Creative Process sebagai bagian dari rangkaian program FORUM SELISIK yaitu ruang pertukaran ide dan pengolahan inventori dari proses penciptaan seni sebagai kerja penelitian jangka panjang.
Tujuan
– Berbagi dan bertukar perspektif tentang proses kreatif atau metode penciptaan seni sebagai investasi pengetahuan.
– Mengarsipkan proses kreatif atau praktik seni sebagai kerja penelitian dengan membaca keotentikan dari pandangan seorang pengkarya atau pencipta seni.
– Menginventarisir pandangan lintas disiplin terhadap kerja penciptaan seni dan isu terkini yang berada diruang lingkupnya.
Konsep dan Aturan Main
– Format diskusi yaitu diskusi terpumpun (Focus Group Discussion)
– Penilik dapat diartikan sebagai narasumber/pemantik/panelis diskusi.
– Penilik dan tamu undangan diberi kesempatan berbicara, baik secara ringan, dengan gaya bahasa sendiri, pengalaman individu atau merespons pembacaan yang kuat untuk diketengahkan kepada narasumber dan tamu lainnya.
– Semua yang hadir, dapat merespons atau menanggapi, serta menyela, dengan lebih dulu diberikan kesempatan oleh moderator.
– Boleh adu debat, tapi tetap terarah. Moderator akan selalu mengarahkan konteks diskusi agar selalu mengalir, berisik dan berisi.
Data Acara
Penilik
1. Peri Sandi Huizche (Dosen Teater, Penyair, Seniman)
2. Anwari (Seniman Teater)
3. Indra Agusta (Penulis dan Pengamat Seni)
4. Frengki Nur Fariya (Penulis, Peneliti Seni)
5. Yulela Nur Imama (Dosen Teater, Koreografer)
6. Feri Ari Fianto (Seniman Fotografi)
7. Tri Puji Handayani (Peneliti Seni)
8. Irfan Wahono (Mahasiswa Teater)
9. Nur Handayani (Seniman Pertunjukan)
10. Intan Anggun Pangestu (Seniman Keris)
Waktu : Minggu, 11 Juni 2023, Pukul 19.00 WIB
Tempat : Hetero Space Solo (Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 92, Purwodiningratan, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah)
Topik Diskusi : “Apakah Mencipta Seni itu Mudah dan Ilmiah?”
Moderator
Beri Hanna (Koordinator Kearsipan Tilik Sarira Creative Process)
Host
S.Sophiyah.K (Artistic Director Tilik Sarira Creative Process)
Terms of References
– LATAR BELAKANG TOPIK
Penciptaan seni di Indonesia sebagai produk akademik dari perguruan tinggi masih mengalami kesenjangan. Menelaah berbagai isu yang muncul dari dunia pendidikan seni bahwa mencipta seni sebagai bukti kelulusan mahasiswa bukan suatu prioritas dan karya penciptaan seni pun masih belum memenuhi syarat untuk kenaikan pangkat atau jabatan dari dosen pengajar praktik seni atau pencipta seni. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan dasasr “Apakah mencipta seni itu mudah sehingga tidak bisa lagi menjadi kekuatan produk akademik?”
Menurut Guntur dalam makalah “PENELITIAN ARTISTIK: SEBUAH PARADIGMA ALTERNATIF” yaitu persepsi yang dibangun dan terbangun bahwa skripsi dipandang lebih ilmiah dan lebih akademik oleh karena dihasilkan melalui penelitian ketimbang karya seni dan karya seni sebagai penelitian perlu didekatkan dengan paradigma penelitian artistik.
Aprina Murwanti dalam jurnal Seminar Nasional Seni dan Desain: “Membangun Tradisi Inovasi Melalui Riset Berbasis Praktik Seni dan Desain” FBS Unesa, 28 Oktober 2017 yang berjudul “Pendekatan Practice-led Research Sebuah Upaya Fundamental untuk Mengatasi Ketimpangan antara Praktik Penciptaan Seni Rupa dan Publikasi Akademik di Indonesia” :
Kesenjangan antara publikasi artistik dan publikasi ilmiah ini membentuk jurang yang semakin dalam jika penciptaan seni tidak bersifat inklusif. Di satu sisi, perupa kadang enggan menuliskan penciptaannya dalam sebuah dokumen karena merasa bahwa karya saja sudah cukup untuk diajukan kepada khalayak sekaligus sebagai material asesmen ilmiah.
Kutipan tersebut seperti menjawab persoalan bahwa seniman pencipta harus mampu menulis jurnal/publikasi ilmiah yang setara antara praktik dan penelitian.
Dan juga statement menarik dan cukup berbeda dari kedua pendapat tersebut yaitu dari Acep Iwan Saidi yang ditulis dalam artikel kompas 30 Agustus 2017 yang berjudul Karya Ilmiah Seni :
“…Menuntut menulis kepada seniman sama halnya menuntut penulis untuk berkarya seni….”
Bercermin dari pendapat Acep Iwan Saidi bahwa tidak perlu ada penyamarataan publikasi ilmiah atau tidak perlu menulis jurnal bagi seniman akademisi. Karya seni itu sendiri adalah bentuk dari penelitian ilmiah. Pendapatnya juga diperkuat dengan kutipan dari Graeme L Sullivan bahwa secara keseluruhan kerja proses kreatif itu adalah kerja ilmiah. Sehingga memunculkan pertanyaan lain, “Apakah karya seni saja sudah cukup ilmiah?”
Poin Pembahasan
1. Penciptaan sebagai produk akademik
2. Metode seniman yang meneliti
3. Diantara karya seni dan jurnal