Narasumber

Ari Rudenko (adalah seorang seniman interdiscliplin yang tertarik pada ilmu sains, tradisi tari global. Ari adalah pendiri konseptual dan direktur artistik Prehistoric Body Theater sejak didirikan pada tahun 2017. Dibesarkan di kepulauan Pasifik Barat Laut AS dengan kecintaan pada dinosaurus, lukisan, dan tarian. Ari telah mengakar kuat di Indonesia sejak tahun 2012. Saat ini ia meraih gelar Ph.D. Kondidat Kajian Penciptaan Tari di Institut Seni Indonesia Surakarta. Ari sedang menulis disertasi dwibahasa tentang Ghosts of Hell Creek.)

Wahyu Widianta, S.S (Lulusan UGM dengan bidang kepakaran arkeologi. Bekerja di unit Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Beliau menjadi tim penulis buku manusia purba sangiran (2012) dan penelitian terakhirnya tahun 2022 berjudul “Pesona, konflik, dan kerentanan saujana budaya masyarakat di Kawasan cagar budaya sangiran”)

Dr.Sn. ‘Cia’ Syamsiar, S.Pd., M.Sn. (lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan. Sekarang bekerja sebagai Dosen sekaligus menjabat sebagai Ketua Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta. Aktif Menciptakan karya Seni Lukis maupun karya Seni Rupa juga melakukan penelitian Artistik yang diterbitkan pada beberapa Jurnal Nasional. Cia juga Aktif Pameran Edukasi Nasional maupun Internasional, memberi workshop Seni Lukis maupun workshop Seni Rupa dalam berbagai kegiatan dan tempat : Dinas Koperasi Surakarta, Taman Budaya Jawa Tengah, Sekolah dll.

– Waktu : 28 Januari 2024, 19.00 WIB
– Topik : Vandalism dan Prasejarah
– Judul diskusi : Nenek Moyangku Seorang Seniman
– Moderator : Beri Hanna

Latar Belakang Topik:

Pada tilikan ke #10 sebagai pembuka tahun 2024, kita akan memulai dari vandalism prasejarah. Ilustrasi paling cemerlang yang dapat dengan mudah kita tangkap adalah yang diungkapkan, Carl Sagan & Ann Druyan, Shadows Of Forgotten Angcestors (2023:38-39) “ketika kehidupan pertama kali muncul, sebagian besar Bumi tampaknya merupakan lautan, dengan kemonotonan yang dipecahkan di sana-sini oleh kawah bekas tabrakan”.

Bumi terbentuk oleh gangguan seperti katastrofis yang membuka lahan untuk manusia menjelajah serta bermukim di kemudian hari. Gangguan-gangguan alam seperti ini, sepertinya berkolerasi dengan kepiawaian tangan-tangan manusia prasejarah dalam membentuk—semacam insting estetika pertama kali. Apa yang membuat mereka terpukau sehingga melakukan tindakan-tindakan tertentu di satu tempat, (katakan) seperti mengukir kerang, mewarnai goa dan sebagainya sehingga kita saat ini mengenal simbol-simbol sebagai identitas agama, keukuasaan, kelompok dan sebagainya. Apa pula yang mereka lakukan dengan sebutan ”vandalism”. Jangan-jangan, vandalism tidak tepat dikemukakan sebagai penyebutan untuk gerakan membentuk, mengubah, mengotori pada saat itu.

Tilikan kali ini juga ingin menyentuh bagaimana bentuk-bentuk ditemukan/dikategorikan sebagai organisme yang mewarisi ciri-ciri keturunan. Meskipun Charles Darwin sempat merenungkan argumen Jean-Baptiste de Lamarck, yakni …”jerapah menjulurkan leher kala berupaya menggerogot dedaunan di cabang-cabang pohon yang lebih tinggi, dan entah bagaimana leher yang sedikit memanjang akibat dijulurkan itu diteruskan ke generasi berikutnya” ibid (2023:50).

Gugatan Lamarck ini dapat kita diskusikan bagaimana budaya tatto orang-orang Mentawai yang tidak berlaku bagi bayi mereka. Atau dalam contoh yang disebut Sagan, yakni Muslim dan Yahudi yang menjalankan ritual menyunat anak laki-laki, namun tidak diketahui satu kasus pun ada anak laki-laki Yahudi atau Muslim yang lahir tanpa kulup.

Pembahasan vandalism di masa prasejarah agaknya sulit terbayangkan. Bagaimana vandalism ini memulai terbentuknya budaya serta lainnya. Bagaimana pula manusia bisa sampai pada tahap yang bergelut dengan teknologi seperti saat ini? Apa dorongan besar dan dosa (kalau boleh disebut begitu) seperti apa yang mendorong (kuat) manusia untuk beradaptasi serta tumbuh seperti sekarang?
Kita ingin melihat bagaimana kesenian tersisip dalam kehidupan prasejarah, barangkali kesenian memulai perjalanan panjang dengan warna (bumi), bunyi-bunyian (alam), gerakan (menari), gambar (ukiran) dan sebagainya yang melanggengkan kehidupan.

Poin pembahasan

– Ari Rudenko, kabarnya anda baru saja dari ISPA (International Society for the Performing Arts). Apa yang bisa anda bagikan untuk kami di sini?

Ari Rudenko:

   Ya. Saya baru dari New York kemarin. Saya belum dua puluh empat jam di Indonesia. Jadi maaf kalaju agak jet lag. Saya baru dari ISPA, semacam kongres seni pertunjukan International yang mengumpulkan seniman, presenter, kurator, produser, dan pihak-pihak yang berpengaruh untuk seni pertunjukan dari seluruh dunia.
Di sana saya dapat banyak diskusi bersama seniman-seniman generasi muda dari Afrika, Amerika Selatan. Mereka semua sedang berjuang untuk berpores dengan tradisi masing-masing dan merangkai ambassadorship kayak hubungan politik international antara negara dan bagaimana caranya dunia tidak makin terpecah. Bagaimana seni bisa berproses untuk menyembuhkan masalah arah manusia sama alam. Itu semuanya dibahas.
   Boleh kembali sedikit ke topik pra sejarah dalam vandalism. Ini menarik, apa lagi vandalism secara dikte dan sebagai metafora ada yang banyak bisa digali di situ. Kayak pengaruh secara sengaja atau tidak sengaja tetapi sesuatu yang berpengaruh untuk dunia yang meninggalkan bekas yang lama-lama dapat ditracking sebagai sebuah kejadian dari masa lampau.
   Saya memang tertarik dengan seni dari kecil tetapi saya bercita-ceita menjadi paleontolog yang meneliti dinasaurus. Saya ingin mencari tahu bagaimana kehidupan hewan-hewan prasejarah dan bagaimana cerita nenek moyang manusia secara evolusiener selama ratusan juta tahun, dan bagaimana cerita itu membentuk kita sekarang. Membentuk tubuh, indra, psikologi, dan alam di sekitar kita dunia yang kita kenal sekarang. Dan saya dari kecil juga beberapa kali dapat kesempatan ikut menggali fosil. Sejak 2017 mulai intens gabung sama ilmuawan paleontologi untuk meneliti pra sejarah secara lebih detail.
   Prasejarah ini warisan kita semua. Dari Amerika, Indonesia dan mana pun kita semuanya sama-sama terkait dengan akar cerita teori evolusi. Apakah teori itu memang nyata? 99% lebih dari proses cerita leluhur kita semua, satu garis keturunan yang sama. Bukan hanya terikat pada satu ras tertentu atau etnik tertentu.
   Kita memang terikat dengan satu cerita yang sama.
   Waktu 2017 saya sempat ikut menggali dinasaurus, namanya situs Hell Creek di Serikat Montana, Amerika. Di sana fosil-fosilnya momen tahap paling akhir dari dinasaurus. Di sana kita bisa temukan baynak dinasaurus yang terkenal seperti T Rex, Triceratops, Ankylosaurus, Pachycephalosaurus, nggak tahu apakah kalian sehapal nama-nama dinasaurus. Tapi banyak dinasaurus yang muncul di gambaran dan segala macam banyak yang dikenal dari situs itu. Nah, situs itu, mereka momen terakhir pas ada tabrakan asteroid sama bumi yang hancurkan dunia dinasaurus dan menghasilkan kepunahan sekitar 85% spesies di bumi punah. Dan kita bisa bilang semua kehidupan yang ada sekarang adalah keturunan dari yang bisa bertahan hidup kurang lebih dari 15%.
   Dan di situs Hell Creek kita bisa temukan satu bab setelah itu, pas dunia mulai kembali hidup, kita bisa temukan fosil Purgatorius hewan pertama yang punya jempol dan punya kuku dan bisa dirangkai sebagai leluhur primata. Secara evolusioner nenek moyang yang bertahan hidup waktu bencana asteroid itu.
   Saya selama satu setengah bulan menggali dinasaurus. Waktu saya menggali T Rex, penemuan saya berbeda dengan apa yang kita temukan di foto atau di museum. Itu sudah seperti direkontruksi. Saya di sana, setiap hari seperti bertapa dengan tulang-tulang. Satu gigi mereka sebesar mikropon, satu rusuk lebih besar dari tubuh manusia. T Rex kebanyakan meninggal di sungai. Ada fosil-fosil daun-daunan, ikan, dan hewan lain di sekitar temuan. Saya bersama peneliti di sana, seperti mata pertama setelah 66 juta tahun yang bisa sentuh momen ini lagi.
   Apakah temuan ini bisa saya sebut vandalism? Memang vandalism konotasinya sengaja, tapi sama-sama kayak ada bekas, ada jejak dari momen itu, saya bisa sentuh peristiwa sebelum asteroid itu. Aliran evolusi dan masa depan bumi sangat berpengaruh dengan kejadian di hari itu. Saya merasa untuk menghargai leluhur, hewan ini, mencoba membangun relasi antara manusia dan hewan ini bisa dapat pesan seperti apa yang dapat berkontribusi untuk kesadaran manusia tentang kepunahan. Sekarang sepertinya ada kepunahan lagi. Kita, manusia, bisa menjadi asteroid berikutnya.


– Bagaimana tindakan-tindakan estetika prasejarah, seperti ukiran atau pewarnaan, dapat diartikan sebagai bentuk awal dari kesenian? Apakah ada bukti-bukti bahwa tindakan ini memiliki tujuan artistik atau simbolis?


Cia Syamsiar:
   Tahun 2009, jadi waktu itu saya pernah meneliti mural. Di mana mural di Jogja dan di Surakarta. Dari situlah ada hubungannya dengan prasejarah. Karena karya seni prasejarah yang ada di goa, dan kita sendiri di Indonesia kan ada karya prasejarah, mural yang ada di Goa Leang Leang, Maros. Sebetulnya di Makasar ada dua, Goa Leang Leang dan Sumpang Bita.
   Leang Leang dianggap lebih tua. Waktu kuliah saya pernah ke sana. Memang di sana ditemukan/didatangi baru diteliti pada tahun 1950. Tempatnya di bukit-bukit di antara gunung-gunung batu. Di sana memang berbukit-bukit, bukit kapur. Di antara itulah ada goa Leang Leang. Kita untuk masuk ke sana harus melewati semacam lorong sempit. Kita kadang ada satu titik harus merangkak, mungkin kaki kita menekuk atau merangkak.
   Kemudian di Sumpang Bita agak geser sedikit ke bawah, di Pangkep. Sekitar 30 kabupaten, setelah Maros ke Pangkep di sana ada juga karya-karya Prasejarah. Menurut saya itu karya yang luar biasa dari prasejarah. Melihat karya di sana, saya merasa melihat karya seni modern sekarang. Karena bentuknya yang sangat estetik, menurut saya. Untuk mendapatkan karya seperti itu dengan gestur dan bentuk yang sudah dideformatif, artinya luar biasa pada saat itu.
   Orang modern saja, atau orang yang belajar seni murni untuk mendapatkan bentuk deformatif membutuhkan waktu yang sangat lama. Dan karya itu meskipun lehernya kecil, kepalanya kecil, badannya dibuat besar, tentu ada maksud dan tujuan, atau simbol-simbol yang disampaikan di sana.
   Zaman itu keterbatasan sangat apa ya tidak ada fasilitas sama sekali. Mereka menggunakan bahan-bahan alam yang belum ditemukan seperti sekarang.
   Menurut saya, memamg karya prasejarah diciptakan untuk tujuan magis. Karena pada masa itu masa berburu. Di mana, manusia pada waktu itu masih mengandalkan hidupnya dari alam. Sehingga untuk mendapatkan buruan, untuk mendapatkan makanan, itu mereka harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Kemudian mereka menggunakan atau menemukan karya-karya yang penuh dengan simbolis, magis.
   Menurut yang saya baca dan yang saya ketahui, mereka sebelum berangkat, itu mereka menusuk-nusukkan anak panahnya ke gambar-gambar tersebut. Dengan tujuan mereka mendapatkan buruan yang banyak. Pada saat itu mereka sudah berkumpul, bersawah, berkebun mungkin ya, beternak. Masa itu masa neolitikum, masa batu muda, di mana masyrakatnya kepadaniannya mampu mengasah batu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka kemudian menggunakan itu untuk kebutuhan kehidupannya pada masa itu.


– Apakah konsep “vandalism” sesuai untuk menggambarkan tindakan membentuk atau mengubah lingkungan oleh manusia prasejarah? Bagaimana pandangan ini dapat membuka wawasan baru terhadap pemahaman kita tentang kreativitas dan tindakan seni pada masa itu?


Ari Rudenko:
   Sebetulnya, ini lebih tepat ditanyakan kepada Pak Wahyu sebagai ahli yang dari Sangiran. Tapi karena beliau belum datang, saya mencoba.
   Mungkin kalau ada yang di sini belum familier, kelompok kami prehistoric body theater yang bermarkas di Lemah Putih. Kelompok kami sedang berproses untuk merespons dari ilmu prasejarah dengan ketubuhan, seni pertunjukan, bisa dibilang tari atau teater kami selalu di lintas-lintasnya. Kami ingin menghadhirkan seni pertunjukan yang menawarkan portal untuk berkomunikasi sama apa yang terjadi pada saat itu. Dan banyak misteri pada saat itu. Banyak yang susah ditentukan. Apa lagi manusia yang lebih purba seperti sangiran. Kami menggunakan berbagai jenis cara, untuk merespons dan tetap jaga misteri besar di situ.
   Mungkin teman-teman tahu fosil-fosil homoerectus di sangiran. Manusia sangiran menjadi rujukan yang mengembangkan wawasan kami. 2022, Mbak Melati pernah mengundang kami untuk membikin karya tentang Manusia Sangiran. Dan kami memang dari nol. Saya pernah ke museum sangiran, tetapi belum mendalami apa itu homo erectus. Dia terlihat seperti manusia, tetapi berbentuk yang berbeda. Waktu itu kami belajar di museum, mendalami apa itu homo erectus yang punya kapasitas otak, mungkin sekitar 75% dari kapasitas otak kita. Tergantung fosilnya, umurnya. Ada beberapa yang berbeda termasuk bagian broca, bagian yang terkait dengan kapasitas berbicara secara verbal. Ada sedikit bukti homo erectus tidak bisa ngomong seperti kita, tapi dia punya kapasitas mental yang 3x lebih daripada simpanse.
Mereka bukan seperti kera, mereka punya kemampuan untuk merangkai kehidupan dan merespons atau mengontrol api. Walau pun dari situ Sangiran belum ada bukti, tapi ada di China yang bisa buktikan bekas api.
   Mereka membikin kapak tangan. Dia sangat terkenal untuk kapak yang dibikin. Bekas kapak ini kalau bisa disebut vandalism. Jadi rangkaian jejak-jejak keluar dari Afrika, sampai ke Turki, China hingga Jawa. Ada banyak kapak-kapak yang sederhana tapi tidak sesederhana itu untuk menciptakan kapak itu.
   Kalau dari homoerectus kita bisa temukan bukti semacam kesenian seperti yang kita temukan di goa. Jadi kita belum tahu, mereka punya kesenian atau tidak.
   Selain kapaknya, ada juga bola batu yang hanya ditemukan di Jawa. Bola batu ini menjadi misteri besar, karena bentuknya yang bulat sempurna. Katanya ini dipakai buat melempar, itu sangat mungkin untuk dilempar, tapi jadi pertanyaan dengan kapasitas dia untuk membikin sesuatu yang sesempurna itu. Kenapa tidak pakai batu biasa untuk melempar. Apakah ini memang dipakai untuk berburu? Atau ada fungsi lain, seperti ritual.
   Ilmuwan juga memerlukan waktu untuk membuktikan. Kalau tidak bisa dibuktikan hanya menjadi perkiraan atau praduga.
Kami juga bekerja sama dengan kakek-kakek yang ada di Sangiran. Biasanya penemuan dari warga lokal berawal dari mimpi. Ada mimpi dulu, ada tanda-tanda. Burung perkutut yang menuntun mereka ke tempat. Di sana mereka temukan tengkorak.
   Ini jadi hal menarik, di kelompok kami dari tari, budaya, lebih cepat nyambung dengan cara kakek-kakek daripada yang di museum. Cukup kompleks sampai sekarang. Karena minim informasi, homo erectus tidak bisa ngomong, cuman bisa mengontrol api, membuat kapak dan bola batu. Kreativitas ini terbentur dengan yang gaib dan sains. Lucu, tetapi ini bisa juga ditempuh dengan pendekatan hidup seperti mereka.

– Apakah ada hubungan antara tindakan seni prasejarah dan teknologi pada zamannya? Misal api, batu dan sebagainya.

Ari Rudenko:
   Sepertinya setelah manusia purba ini, sudah mulai mengontrol api punya kapasitas memasak. Perkembangan kapasitas otaknya, aaa, sangat cepat seperti membesar setelah mereka bisa mengakses nutrisi yang ada di dalam daging kalau sudah dimasak. Mungkin gara-gara itu manusia juga punya waktu luang untuk berpikir tentang hal lain, mengeksplor selain daripada bertahan hidup.
   Teknologi api itu di antara itu sama kapaknya yang bisa digunakan untuk memotong dan memanipulasikan alam di sekitarnya. Secara lebih efesiensi, kayak mulai menghadirkan era baru dalam perkembangan leluhur kita. Kalau kita lihat sekarang, perkembangan teknoligi jelas mengerikan. AI sebagai teknologi baru yang sudah sangat berpengaruh untuk kita di momen ini. Dari tahun kemarin ke tahun ini, pengaruhnya udah besar sekali. Dan dua tahun lagi apa lagi belasan tahun yang akan datang. Teknologi ini akan mempengaruhi manusia.
Rasanya, lumayan banyak orang sebut kalimat AI itu sebagai api kedua. Mungkin kalau kita lihat dari sudut masa depan, perubahan dari homonid, manusia sebelum bisa mengontrol api dan setelah itu. Mungkin sama seperti manusia sebelum AI dan setelah AI.
   Jelas kita tidak tahu masa depan kita akan jadi seperti apa. Kayak komputer seperti korteks baru di otak kita. Kita punya korteks organik sisi bagian-bagian dalam otak kita. Terkait dengan leluhur evolusieoner kita dari zaman yang lebih prasejarah. Asal usul, portobrata, dan segala macam yang sering disebut reptil brain, walau pun itu salah tapi kalau lebih tepatnya dari sisi sains kayak amniota, synapsida itu zaman bentuk leluhur kita mendekati kadal. Terus ada lapisan-lapisan baru di otak kita sampai cerebral cortex kayak lapisan yang sangat identik dengan primata. Identik dengan homonya, sapiensnya. Kita sudah punya korteks digital yang dengan AI yang makin bisa merangkai, antara aliran saraf dan kapasitas organik sampai digital. Sepertinya saya rasa akan menghasilkan jenis manusia baru yang mungkin bukan homo sapiens lagi.
   Pembicaraan manusia purba ini sangat penting. Kalau kita tidak bisa merangkai yang lalu dan sekarang bagaimana kita menyadarkan tahap-tahap evolusi berikutnya yang cepat sekali berlangsung.

Cia syamsiar:
   Terkait dengan teknologi pada masa itu, saya dari segi cara mengatasi sesuatu.
Manusia purba menciptakan karya seni tentu dengan bahan. Teknologi bahan itu sudah ada. Bagaimana mereka meramu cap itu sehingga bisa bertahan sampai sekarang. Saya belum pernah menemukan, mungkin,,aaaa… ini saya jadi ikut bertanya. Pak Wahyu, kalau ada informasi, cat yang digunakan pada waktu itu. Menurut yang saya pahami itu diciptakan oleh bahan-bahan alami yang formulanya belum diketahui. Ini kan semacam teknologi bagaimana cara mewujudkan, kalau zaman sekarang kita sebut karya seni. Bagaimana cara mewujudkan karya seni ini, dapat bertahan sehingga dapat bertahan sampai sekarang.

Wahyu Widiyanta:
   Sebetulnya kalau untuk formula atau bahan, saya sendiri tidak konsen di sana. Karena saya lebih konsen di Sangirannya. Tapi dari beberapa literatur bahan yang digunakan itu bahan alam, hematit dan ocher. Hematit itu semacam batuan atau bahan alam yang bisa diramu untuk bahan membuat lukisan/cat. Tapi bagaimana formulasinya saya tidak mendalami di situ.
   Terkait dengan, nyambung dari Mas Ari. Memang evolusi manusia itu sebetulnya hanya di bagian kepala. Mungkin dari sisi tubuhnya, itu tidak terlalu jauh dengan tinggi manusia saat ini. Karena dari hasil rekontruksi yang kita gunakan itu ada satu perpaduan sangat menarik dari seniman patung. Pak Edhi Sunarso dan Tengku Yakub seorang Paleontropolog. Mereka membuat satu rekontruksi homo erectus sangiran. Jadi wajahnya menggunakan temuan Sangiran 17 yang mengkonservasi muka, tingginya menggunakan femur dari trinil, temuan Debois. Dari femur kita tahu tinggi manusia. Tentunya Femur homo erectus dengan manusia saat ini tidak terlalu jauh.
   Evolusi manusia itu hanya terjadi di perkembangan volum otak. Dan salah satu yang menentukan, benar yang dikataan Mas ari. Manusia mengenal api itu juga menjadi satu kejadian yang menentukan dalam satu proses kebudayaan manusia. Walau pun di Sangiran tidak atau belum ditemukan jejak api, karena posisi sangiran itu situs terbuka. Tapi kalau di China, itu mereka ada bukti-bukti tentang api di sana dan kehidupannya juga di periode yang sama dengan homo erectus Sangiran. Dengan periode yang sama, bukan tidak mungkin manusia purba Sangiran juga sudah memanfaatkan api. Tapi dari bukti selanjutnya yang di ngandong misalnya, beberapa alat tulang yang digunakan saat itu ada indikasi dibakar untuk meningkatkan kekerasan di sudut ketajaman yang digunakan. Tentunya ini menjadi hal yang menarik untuk diungkap kembali. Tidak hanya air, tetapi api juga menjadi satu momen atau modal penting dalam perkembangan manusia.
   Di sangiran teknologinya masih tergolong sederhana. Mungkin terkait ketersediaan bahan baku. Kebanyakan flake panjagnya sekitar 3-7 cm. Ini juga terkait juga dengan keberadaan sumber bahan. Karena sumber bahan alat yang digunakan manusia jaman dulu mempunyai tingkat kekerasan yang tinggi. Kalau sekarang itu yang untuk bahan-bahannya batu akik.
   Tentunya manusia purba juga sudah memilih, bahan-bahan mana yang bisa digunakan untuk membuat alat.
Dan temuan-temuan itu di Sangiran sangat banyak. Sehingga oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald Sangiran disebut sebagai Sangiran Flake Industry. Tapi untuk perkembangan alat-alat yang lebih masif tidak banyak ditemukan di Sangiran. Alat-alat masif seperti kapak genggam, kapak penetak dan sebagainya. Itu pun teknologinya masih sederhana, 3-4 kali pangkas untuk menghasilkan sisi tajam.
Kapak-kapak itu banyak digunakan untuk meramu sebetulnya. Kalau berburu, sampai saat ini, belum kita temukan bukti-bukti bahwa manusia purba itu berburu dengan alat batu. Masih banyak yang perlu diungkap dari Sangiran. Tentunya, pemikiran-pemikiran dari teman-teman diperlukan, dibutuhkan pemikiran baru karena masih banyak hal yang digali dari Sangiran. Sangiran mejadi situs skala dunia, salah satu situs kunci peradaban manusia. Tentunya, penelitian harus terus berlanjut di Sangiran. Mungkin tidak hanya dari arkeolog, geolog. Mungkin Sangiran juga butuh pemikiran seni, kebudayaan, dan ilmu-ilmu lain.
   Sementara yang masuk di Sangiran memang masih fokus pada arkeologi, geologi, paleontologi.
Sekarang misalnya, isu-isu yang menjadi penting seperti perubahan iklim, ketahanan pangan. Apakah Sangiran bisa memberi sumbangsih bagi perubahan iklim pada masa lalu. Dan itu bisa untuk melihat posisi yang sekarang dan masa yang datang. Karena Sangiran juga terbentuk dari perubahan iklim, dari naik turunnya permukaan air laut. Proses tektonisme dan vulkanisme juga berpengaruh di situ. Dari bukti-bukti yang ada di Sangiran sangat mungkin untuk memprediksi situasi ke depan.


– Melihat motif yang kebanyakan diklaim sebagai karya seni prasejarah, bukankah itu dapat kita lihat dari kacamata akdemisi sebagai abstrak, atau non konsep/tidak realis. Apa perbedaan penciptaan masa lalu dan kini. Mengapa kita, lebih berpihak pada kegelisahan, bukan dorongan yang kuat dengan sentuhan alam, kepercayaan dan sebagainya dalam mencipta?


Cia Syamsiar:
   Kalau dilihat dari kaca mata visualnya tidak ada bedanya dengan karya yang diciptakan sekarang. Karena dalam karya seni yang ada di peninggalan prasejarah itu, sebetulnya bisa dikategorikan dalam karya seni modern. Dalam konsep modern. Konsep modern adalah individualis. Sementara karya seni prasejarah diyakini sebagai karya kolektif. Karena mereka bukan kehendak seseorang, atau kehendak bersama. Jadi mungkin ada beberapa orang yang berkontribusi di dalamnya. Mungkin ada yang mengonsep, ada yang menemukan cat dan sebagainya. Karena pada zaman dahulu kita bisa bayangkan mereka menciptkan karya bukan untuk kenikmatan pribadi. Tetapi kebutuhan bersama.
   Visualnya hampir sama, karena karya prasejarah itu sudah ada pada tahap yang melewati seni realis. Realis itukan dari zaman Yunani klasik, Romawi kemudian Renaissance ke Barok, Rokoko, kemudian ke seni modern, kemudian dan selanjutnya gaya-gaya itu akan lahir.
Karya prasejarah sudah deformatif. Karyanya tidak lagi bentuk riil dalam arti bentuknya sudah diubah. Yang mana ciri dari karya modern adanya kreativitas nilai kebaruan. Ribuan tahun setelahnya hadirlah karya-karya seni berikutnya. Walau pun karya seni prasejarah itu sebelumnya jauh mungkin 5.000 tahun yang lalu kemudian jika dibandingkan dengan karya modern sekarang, maka sama. Tetapi jika dilihat dari konsepnyna berbeda. Karena konsep seni modern adalah individual sementara karya prasejarah adalah kolektif. Yang memang tujuannya untuk magis.
   Modern itu tidak dibatas waktu.

Pertanyaan dari TOR yang tidak sempat ditanyakan:

– Apakah ada tanda-tanda bahwa tindakan seni prasejarah memiliki dimensi artistik yang mendalam, atau apakah mungkin ada interpretasi alternatif terhadap istilah “vandalism”?
– Bagaimana tindakan seni pada masa prasejarah berkontribusi pada perubahan budaya dan peradaban? Apakah seni memiliki peran dalam mentransformasi atau memelihara nilai-nilai masyarakat?


Pertanyaan audiens:

1. Otniel Tasman:
   Bagaimana, tadi Mbak Cia, tentang bahwa ancestor ini adalah kebutuhan bersama. Urgensinya di situ. Pada saat ini, sebagai orang pekerja seni, bagaimana menemukan urgensi itu dan mengkorelasikan antara yang lampau dan sekarang?
Bimana urgensi itu ditemukan hingga ada korelasi antara yang lampau dan sekarang. hari ini kita rasanya perlu mencari apa urgensi bersama itu sehingga menghasilkan artistik yang indah.

Ari Rudenko:
   Jawaban yang muncul di saya sekarang terkait dengan sikap dasar kita itu seperti apa. kelihatannya di era ini di mana kompleksitas budaya semua tren, kompleksitas teknologi dan segala macam, ya sekarang di atas fondasi sikap manusia ada banyak topeng, metafora, simbolis dan sebagainya yang cukup membingungkan kalau kita mau meneliti apa itu sikap fondasi tendensi manusia seperti apa.
   Manusia belum bisa atasi masalah perang, isu sosial yang dari zaman lalu sampai sekarang, terus-terus mengulang dan berulang. Saya sebenarnya tertarik dengan, kalau kita melihat manusia sebagai primata. Primata yaitu kalau sains revolusi itu benar, ya, kita adalah cabang keturunan dari kera, dari jenis-jenis primata sebelumnya. kalau kita lihat primata secara umum, semuanya hidup berkelompok sosial, kolektif, rata-rata punya sistem sosial yang hirarkis. mereka dapat menemukan posisi individual terkait atasan hingga bawah.
   Status-status ini, setiap jenis primata secara umum memiliki variasi sebuah sistem sosial hirarkis.
   Dari keturunan dan kita punya tendensi untuk saling membandingkan. Kalau di agama, spiritual, siapa yang hebat, paling murni, paling bagus, paling mampu atasi nafsu dan segala macam seperti berlomba-lomba. Kita punya tendensi itu.
   Ini semacam sebuah rangkaian masa lampau sampai sekarang. Jadi saya, sebenarnya habis ini pengen lebih mendalami primatalogi, sebuah cabang sains untuk mendalami primata. Karena kayaknya, ada banyak hal, yang membuat kita harus lebih sadar tentang aliran sistem insting yang bentukan respons kita secara tidak sadar. Tapi kalau bisa menyadari itu, antisipasi dan beradaptasi aliran-aliran manusia agar tidak kaget dan tidak munafik. Karena kita punya moral dan prinsip. Tapi kadang kelakuan kita bejat. Sering kali tidak sadar. Sistem-sistem saraf seperti apa yang membentuk kita, itu satu rangkaian dengan masa lalu.

Cia Syamsiar:
   Keterhubungan antara prasejarah dan sekarang itu sebetulnya, kalau dilihat karya itu ya modern. Dilihat dari segi visualnya. Tapi konsepnya berbeda. Kalau dilihat karya itu ya modern. hubungannya selalu ada. konsepnya aja yang berbeda.

2. Halim HD:
   Saya ingin berkomentar postingan ini di Instagram. Tidak usah pakai Mic, suara saya bisa didengar. Ada kata Vandalism dalam postingan ini di Instagram. Kita akan sama-sama membahas Vandalism dan Prasejarah. Saya gak tahu, apakah pada saat itu sudah ada Vandalism.
Untuk dalam satu priode, pada priode itu tidak mengenal kata Vandalism.
   Vandalism itu sendiri muncul di prancis, pada abad 15 dan 16. Yang sebetulnya dorongan ini kalau kita tarik pada sejarah Romawi dan Yunani, mereka sudah melakukan tapi tidak disebut Vandalism, disebutnya arnakisme. Vandalism sendiri adalah anarkisme. Anarkisme untuk merusak karya publik. Vandalism adalah dorongan untuk merusak satu karya publik. Itu yang disebut Vandalism.
Itu yang pertama kritik saya.
   Yang kedua, Nenek Moyangku Seorang Seniman. Sejak kapan di Indonesia kata Seni? Sampai sekarang saya kira tidak pernah terjawab. Bahkan di Eropa sendiri yang memiliki konsep tentang kata seni, baru mulai muncul pada abad 15, 16.
Di Prancis, Inggris, tentu mereka akan menarik pada masa Romawi dan Yunani kata itu sendiri.
   Dalam masyarakat kita tidak pernah ada. Bahkan di dalam tradisi misalnya, itu hanya orang modern saja. Oh, ini seni kriya. Setiap produk dari kebudayaan memiliki unsur yang berguna.
   Nah, kata seniman sendiri ini, adalah pelafalan yang belum lama di Indonesia. Belum ada satu abad. jika anda melacak dalam literatur di indonesia, kata sastrawan, kata Penyair, kira-kira pada tahun 40-an kata itu muncul.
   Jadi kalau kita tarik misalnya, Nenek Moyangku Seorang Seniman, benarkah di Goa Leang Leang terdapat satu Seni Rupa, dianggap tanda petik ya, Seni Rupa. Seperti juga di Spanyol dan Prancis pada priode yang sama. Benarkah itu dilakukan oleh dorongan kesenian. Dorongan untuk menjadi seniman. Saya kira, paling tepat nenek moyangku pelaut itu ada benarnya. Saya kira dorongan nenek Moyangku Seorang Seniman, saya meragukan ini.
   Kalau seandainya saya membandingkan begini, seorang anak di kamar, dia coret-coret dinding ruang tamu, dengan membuat, katakanlah gambar apa pun, apa yang menarik, saya kepingin ada satu obrolan, kira-kira… Saya gak tahu…. pada waktu itu signature….. satu peristiwa seni rupa di Singapor Art Museum. Kira-kira 9 tahun lalu. Yang menarik pada waktu diskusi, mereka bertanya, di antara perkembangan karya digital apa yang sesungguhnya karya yang tertempel di goa-goa, Kalimantan, Prancis atau Spanyol. Itu bagi saya mengejutkan pertanyaan itu, karena mereka menarik kembali kepada karya, Ai Weiwei, seorang seniman dari China, dengan kemampuan teknik drawingnya mengangkat karya klasik China. Awal 50an pada waktu dia pameran, artinya yang saya kepingin kasih gambaran semacam ini, pertanyaan tentang seniman ini sendiri menjadi persoalan dalam masyarakat kita persoalan dalam melacak kontruksi sosial misalnya.
Apakah Mas Panggah itu seniman? Di kalangan tradisi dia tidak disebut seniman, disebutnya pengrawit. Langusung pada fungsi profesinya. Apakah Pak Marto Pengrawit seniman? Bagi orang modern, bagi orang tradisi dia pengrawit.
Ini yang menjadi pertanyaan, terlalu gegabah kalau nenek moyangku seorang seniman. Karena saya kira, pada periode itu tidak ada konsep ini.
   Saya sebetulnya tertarik datang ke sini itu karena kepingin, kenapa bayangan kita tentang Sangiran itu adalah binatang dan manusia purba? Kenapa tidak berpikir ada sesuatu penemuan yang penting dari Sangiran itu. Ada jenis kerang yang tipis-tipis, yang berada di tepian sungai, itu terkumpul. Mungkin Pak Wahyu ini, bisa menjelaskan.
   Sangiran menjadi penting ada satu siklus priode Sangiran menjadi priode ritual. Nah, ini yang sebetulnya kalau kita menarik posisi Jawa. Dalam konsep Jawa antara padi, sungai dan air dan jenis makanan yang menciptakan satu sistem atau satu konsep tentang bagaimana wujud dari ritual kehidupan atau dorongan spiritual itu tercipta.

Wahyu Widianta:
   Sebelumnya saya mohon maaf. Karena situasi hujan saya jadi terlambat. Yang disampaikan terkait sangiran, karena sangiran sendiri bisa melampuai beberapa tahapan di situ dari sisi lingkungan, sangiran menunjukan adanya evolusi lingkungan dari laut dangkal, sampai kedaratan kontinental. Kurang lebih 2,4 juta tahun lalu. Rekamannya masih ada di tanah sangiran pada saat ini.
   Dari setiap lapisan tanah, tentunya punya spesifikasi sendiri, baik dalam kategori lingkungan laut menghasilkan fosil-fosil laut, seperti ikan hiu, terus ada satu lapisan yang lumayan tebal membentuk lapisan diatom. Diatom menjadi langka di sangiran, karena kalau untuk sekarang bisa dijadikan kosmetik, bahan cat, juga perlu kita sadari itu tidak banyak sekarang di Sangiran.
   Dari sisi fauna memang banyak sekali fauna-fauna yang ada di Sangiran. Tentunya ini menunjukkan satu keragaman fauna walau pun sebagian ada yang punah dalam artian tidak lanjut sampai saat ini. Ada beberapa juga di antaranya yang dapat kita temukan, tentunya dalam ukuran morfologi tubuh yang berbeda. Dari sisi manusaianya, Sangiran mempunyai satu masterpiece, Sangiran 17, ditemukan satu tengkoran manusia dalam kondisi utuh. Ini bisa digunakan untuk merekontruksi manusia purba. Ini tidak banyak ditemukan didunia. Satu di Sangiran, satu di Afrika. Saat itu sangat makmur, karena berada di lembah solo.
   Tidak hanya sangiran, posisi lembah solo itu secara peletakannya di sisi selatan dibatasi pegunungan selatan, utara pegunungan gendeng, barat merapi, merbabu, Andong, Ungaran, sisi timur ada lawu, ini menjadi satu cekungan besar di mana Sungai Bengawan Solo dengan anak-anak sungai mengalir di dalamnya. Ini menjadi lokasi yang sangat layak menjadi hunian pada saat itu.
   Kehidupan zaman prasejarah tidak lepas dari ketersediaan air, karena air sangat menentukan satu tingkatan kebudayaan di situ, seperti yang disampaikan Bapak Halim. Di masa-masa kemudian orang-orang Mesir bisa membangun piramid tentunya ada sungai nill yang menyediakan banyak sumber, bahan dan makanan. Dan banyak lagi kebudayaan-kebudayaan tua seperti Hindu, China, tidak lepas dari air.
Manusia purba dalam konteks homoerectus tidak berevolusi menjadi homo sapiens. Ada keterputusan di situ. Dari hasil penelitian ini menunjukkan seolah-olah dua makhluk yang berbeda. Ini masih menjadi satu perdebatan dan juga menjadi mising link ke dua di situ. Karena bukti-bukti hasil riset belum ada yang mengatakan erectus berevolusi menjadi sapiens.
   Paling tidak ada satu situs yang setidaknya memberikan satu bukti. Jadi di sekitar pegunungan rembang ada satu usungai di situ memang dalam dasar sungai sangat banyak ditemukan fosil. Dan budaya di sana memang lebih ke alat tulang. Manusianya memang belum ditemukan. Ada satu fragmen, itu pun usianya diperkirakan anak-anak. Tetapi kita belum tahu, apakah itu homo erectus atau homo sapiens. Dari pertanggalan absolut yang pernah kita lakukan di New Zealand itu memang menunjukkan periode antara 100 sampai 135 ribu tahun yang lalu.
   Dan ini juga perlu dieksplore lebih dalam karena tidak banyak bukti yang diperoleh dari masa sekitar 250 ribu sampai 60 ribu tahun lalu itu memang ada kekosongan di situ. Kekosongan bukan berarti tidak ada. Tapi data-data yang ditemukan belum banyak. Karena di 70an ada kasus meletusnya Toba, yang membuat dunia gelap selama satu bulan. Ada perubahan medan magnet di situ, tentunya berpengaruh pada kehidupan manusia.
   Kita mencari bukti-bukti itu, ini menjadi satu tantangan para ahli yang memang bergerak di prasejarah.
Mungkin kalau kita berjalan lebih ke depan terkait lukisan goa memang, lukisan goa banyak tersebar di Kalimantan, Sulawesi, dan sepanjang sisi timur Indonesia. Hampir di setiap goa itu ada lukisan atau goresan. Yang membentuk lukisan yang ada di goa ada banyak motif yang ada memang kalau di Sulawesi Selatan itu goa-goa dalam perjalanan yang lebih tua lebih ke cap tangan. ada motif lain seperti bintang dalam pertanggalan lebih tua cap tangan, ada juga motif binatang, burung, anoa, ada babi terus ikan, kura-kura ada kaki seribu. Pengambarannya ngeblok ada dalam bentuk garis. Dan itu bergeser ke timur mengalami perkembangan juga. Setiap goa belum tentu memliliki lukisan yang sama.
   Jadi hasil riset teman-teman yang ada di Makassar, lebih dari 60 goa, yang diteliti hampir semua ada lukisannya. Tapi ada perbedaan bentuk lukisan di situ. Tentunya, dalam bahasa kami ini seni cadas. Pengambaran-pengambaran itu lebih sifatnya ke, lebih ke kepercayaan masyarakat zaman dulu selain manusia. Ada sesuatu yang hubungannya dengan magis, dengan kondisi yang ada saat itu.
Tentunya dari kehidupan mereka dalam konteks buadaya, kita bisa mengetahui budaya mereka saat itu seperti apa.

Moderator:
   Oke, Pak Wahyu. Aku potong sedikit. Karena tadi ada hal yang menarik disampaikan Pak Halim. Apakah ada penelitian khusus terkait cekungan Sangiran menjadi sumber kehidupan.

Wahyu Widianta:
   Tentunya dari hasil-hasil riset cekungan-cekungan lembah sungai menjadi pusat kebudaayaan, termasuk sangiran. Meski pun sangiran belum bisa katakan sebagai kebudayaan seperti saat ini. Paling tidak, mereka yang hidup di Sangiran sudah menemukan alat. Alat yang mereka ciptakan tidak lebih dari sekadar alat bantu bertahan hidup. Lembah-lembah sungai menjadi sesuatu yang luar biasa karena menyediakan banyak sumber membuat alat, sumber makanan, karena air itu menjadi satu pokok inti dari kehidupan.
   Pada lapisan karakter endapan gunung api, itu Sangiran tidak ditemukan fosil. Ditemukan pun posisinya sedikit. Ini menjadi satu hipotesa, Sangiran mulai ditinggalkan. Tandanya, kehidupan bergeser ke timur seperti Sambung Macan, Ngandong, dan sepanjang aliran sungai Bengawan Solo yang ada di Blora.

3. Reza:
   Terima kasih atas waktunya. Saya Reza bermain noise. Saya kira bumi ini pernah di posisi yang sangat matang. Dengan teknologi yang sudah lebih dari sekarang. Lalu banyak kemungkinan, entah dari asteroid atau justru makhluk zaman dulu yang membuat bumi ini hancur lalu.. aaa… kemudian muncullah peradaban baru. Saya percaya itu. Sisa-sia ini memunculkan kemungkinan atau imajinasi di manusia penerusnya.
   Nah, kalau saya mungkin karena konsen visual, saya malah justru menimbulkan satu kemungkinan bahwa gambar-gambar yang menjadi seni, yang malam ini kita katakan itu seni, atau keberadaan yang ada di goa-goa itu saya lebih menariknya pada sebuah simbol. Mungkin dulu, gambar yang mereka maksudkan sebuah teks. Kalau kita tarik dari Pak Halim bahwa vandalism dan anarkism ini berarti eksistensi. Nah, atau saya secara pribadi, itu sebagai cara orang dulu berkomunikasi. Dengan mereka yang berpindah-pindah bisa jadi itu simbol satu komunal untuk komunal lain. Itu menjadi alat komunikasi yang paling sederhana. Kalau tadi dari Mas Ari menyampaikan bahwa berdasarkan volum otak, pada saat itu tidak bisa berbciara, berarti memang bahasa yang paling memungkinkan adalah visual.
   Kemudian, kita narik juga tadi sempat bahas hirarki, dulu mungkin orang yang boleh ngasih gambar tangan di situ hanyalah orang yang memiliki posisi hirarki.
   Manusiakan selalu berimajinasi. Bagaimana kita memahami entitas yang di luar keberadaan kita?
   Yang ingin kita sembah dan seperti itu. Nah, mungkin ini saya jadi pertanyaan. Yang ingin saya tanyakan adalah, ketika kita ngomongin AI, mungkin gak, sih. ketika AI yang masih berbasis dari data, gitu, ya. Dan data itu secara sederhana.aaa… bahwa internet mati, itu adalah masalah terbesar, ramalannya seperti itu. Mungkin gak ketika kita menjadi makhluk sejarah, artefak-artefak kita ada, mungkinkah entitas-entitas kita akan menjadi pembahasan di masa depan?

Wahyu Widianta:
   Sangat bisa. Apa yang dilakukan manusia saat itu menjadi pembahasan manusia saat ini. Dengan bukti-buktu yang ada juga akan membuktikan ada satu kejadian yang dilakukan manusia saat ini dalam sudut pandang manusia yang akan datang.
Beberapa orang mencoba menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai, dengan harapan ini menjadi satu bukti kebudayaan yang itu bisa digali oleh masa depan. Bagaimana peradaban dan narasi-narasi ini bisa diciptakan. Termasuk juga lokasi-lokasi, perbengkelan, perburuan, kolam renang dan sebagainya.

4. Bari:
   Saya senang datang ke sini karena tadi ketika aku mikir asumsi-asumsi yang aku baca tentang prasejarah, hari ini akhinrya keluar. Meski pun kita sadar dan tidak sadar. Aku mau mulai dari, apa, lukisan maros tadi. Kenapa lukisan maros menjadi penting, karena dia sebetulnya membantah asumsis atau hipotesa dari hipotesa-hipotesa yang secara historis, filosofis, dan arkeologis banyak dikemukan ilmuwan sejauh ini. Misal, peradaban manusia, ketika manusia itu bica muncul filsuf, seniman, atau apa pun itu ketika manusia mempunyai peradaban yang cukup komplek. Dalam arti makanan terpenuhi, kota terbentuk, karena sudah bisa didomestifikasi, kemudian muncullah waktu-waktu luang beberapa orang dalam komunitas ini. Seperti yang dikatakan Mas Ari tadi sebagai waktu luang. Asumsi dasarnya kan itu. Jadi harus ada banyak hal dulu sebelum sebetulnya manusia itu bisa berkebudayaan.
   Luksian maros itu ternyata membuktikan manusia goa juga punya seni dalam hari ini. Bukankah itu membantah asumsi-asumsi bahwa ada kota dulu, domestikasi dulu. Itu menjadi lukisan bukti peran historis yang amat sangat penting. Artinya kebudayaan manusia berkembang sejak dalam kutip peradaban yang bisa kita sebut peradaban. Artinya dulu di suku-suku, mereka juga punya pikiran-pikiran estetik. ada orang yang di tengah-tengah masalah hidup, rupanya ada satu orang yang nyneleneh, mereka berpikir tentang hal di luar karena ada waktu luang.
   Tapi kenapa jadi penting, kalau temuan arkeologis lain katakan kapak itu memang alat untuk bertahan hidup. Tapi apa gunanya gambar untuk bertahan hidup?. Inikan menjadi pertanyaan besar. Makanya aku tidak begitu sepakat dengan apa yang disampaikan Bu Cia. Diukur dari seni pada hari ini, masuknya seni modern, mungkin aja itu diciptakan satu orang yang telah terpenuhi (waktu luang) yang berpikir keras tentang kebudayaan.
    Kalau vandalism itu agak kelewatan, tapi,aaa,,, gimana ya…. vandalism sekarang baliho caleg itu…..
   Poinku, jangan-jangan kita tidak bisa mengukur karya seni pada saat itu dengan ukuran seni modern. Kalau hanya melihat visualnya dan memiripkannya dengan aliran tertentu. Kalau aku tidak salah ini sebagai contoh, di maros ada lukisan babi hutan yang di kelilingi cap tangan. Aku tidak yakin itu adalah.aaa, kalau tadi teman-teman.aaa… ini asumsi, sebelum berburu dan sebagainya mereka menusuk-nusukkan atau kepentingan religius. Artinya untuk kepnetingan magis. Bagiku, bukan itu poinnya. Menurutku gambar-gambar tangan ini lebih komplek sekadar untuk itu. Artinya mereka punya estetika sendiri. Visual itu sudah artistik. Jadi jangan-jangan memang itu untuk dinikmati. Aku gak tahu, ya, mungkin hari ini bukti arkeolog kita tidak dapat menjelaskan hal ini.

Cia Syamsiar:
   Kita agak maju sedikit ke seni abad 8, setelah Yunani Romawi, kemudian abad kegelapan di mana pada masa itu, seni yang mungkin bisa kita lihat itu seni lukis, fresconya, ya. Ada juga mungkin lukisan di mana hampir semua seni rupa itu adalah karya seni yang sebetulnya walau pun diciptakan oleh satu orang, tetapi nafasnya itu nafas kristiani. Di mana mereka diatur dalam bentuk-bentuk yang sesuai aturan-aturan. Maka kemudian karya masa itu belumlah masuk ke seni modern. Karena mereka masih menciptkan sesuatu yang termasuk kolektif.
Artinya apa yang dicipatakan tidak keluar dari individual.


5. Halim HD:
   Kata vandalism ini satu judge yang tidak benar. Pada manusia pra sejarah itu, tadi saya kutip misalkan, saya lupa namanya. Ini direktur singapore art museum. Dalam diskusi, saya bersepakat dengan dia, bahwa ketika pembaca, saya tidak menyebutnya lukisan, tapi gambar, yang ada di goa, dalam pengertian masyarakat modern, itu disalin mereka. Yang mereka, transformasi pikiran yang digambarkan. Itu adalah desain hidup mereka. Yang paling menarik ada pertanyaan lain yang elementer. Mereka menggunakan cairan yang mirip antara goa Leang Leang yang di prancis, spanyol. Kenapa cairan kimianya ini hampir mirip semua. Pola desain itu kita perhatikan hampir juga semuanya sama. Itu yang kita lihat kalau kita katakan oleh desain ini, yang menjadi awal satu kebudayaan manusia. Simbol paling performative. Simbol peradaban manusia paling awal itu adalah gerak. Walau pun itu sulit sekali dideteksi.
   Gerak disimpan DNA manusia antara satu ke satu yang lain, yang melahirkan gerak kita yang sekarang.
   Kalau kita ambil street dance, hip hop, bisa kita lacak di DNA gerak Afrika. Gerak di China, pada Dna mereka bisa dibutkitan. Pertanyaan kalau seandainya kesenian manusia yang paling awal itu adalah gerak itu sendiri. Pembuktiannya, ketika dia makan, berburu atau apa pun, gerak inilah yang mempengaruhi struktur tubuh. Dari manusia berburu, menjadi manusia pemukim segala macam,dan ini sebetulnya juga yang mempengaruhi dalam proses ritual. Yang berkaitan dengan sistem makanan di sekitar.
   Penelitian di Turki, Timur Tengah, pada jarak antara 3,5,7 sampai 27 km di setiap di mana di situ dianggap tempat ibadah mereka, atau pertemuan ritual mereka, selalu ada lingkungan sistem bahan makanan. Dan ini memengaruhi gerak tubuh. Dia tidak lagi menjadi gerak tubuh yang mengejar hewan tapi lebih lembut. Bagaimana tubuh bercocok tanam, tubuh pemukim dan sebagainya.
   Ini yang sebetulnya menarik pada kita. Pertanyaannya, apakah gerak tubuh manusia sekarang itu akan melahirkan kecerdasan. Makin cerdas makin bijak? Pada manusia modern, sangat mungkin dirangsang oleh satu sistem dekonstruktif.

Ari Rudenko:
   Ya, itu jadi perdebatan lama juga. Waktu kita bikin karya Sangiran 17 karena ingin hadirkan tarian. Tapi tarian seperti apa. Karena kita tidak mungkin menemukan apa pun terkait gerak pra sejarah. Selain kita tahu ketubuhan mereka. Tubuh mereka bentuknya hampir sama seperti tubuh kita. Akhirnya kami seperti berproses sederhana dari kinestetik untuk melatih dan merasakan euforia kebersamaan dan respons kita tarik dan menarik satu sama lain melalui ketubuhan. Dari sana jelas akan memperkuat dasar kesadaran reflek kelompok untuk bergerak satu badan bersama. Dan kapasitas kenestetik kita untuk menciptakan itu dari olah tubuh. Kita banyak berproses dari gerak lari. Katanya lumayan tebal, dan mungkin saja mereka punya kapasitas lari lama. Kontruksi manusia dengan tulang belakang lurus itu menunjukkan tidak bisa lari secepat hewan. Kita punya cara mengolah performa untuk melatih bagaimana ketahanan itu.
   Saya juga mau merespons Pak Halim terkait tema malam ini dari sudut yang sedikit berbeda. Kalau misalnya malam ini kita coba hadir di era ini seperti manusia sangiran. Itu akan menghasilkan vandalism. Misalnya kita telanjang, ini adalah hal yang tabu dan bertabrakan dengan etika pola di era ini. Walau pun di zaman dia kehidupan itu memang begitu. Itu hal paling dekat dengan kita tapi sekarang menjadi asing.
   Saya jadi berpikir, apa yang biasa buat kita sangat umum sekarang kalau di masa depan menjadi tabu dan aneh. Kalau kita lihat sekarang itu kayak harus stanby online, kalau kita tidak cepat balas, orang bisa marah ke kita. Padahal dulu kita butuh waktu untuk melewati keinstanan komunikasi.

6. Razan
   Kita di sini banyak pelaku seni. Yang ingin saya tanya, mengapa kita dalam mencipta selalu ingin kembali ke masa lalu sedangkan kita tidak pernah melihatnya secara utuh.
   Saya tiba-tiba berimajinasi, kalau melihat cap tangan seperti bendera caleg, apakah itu kolektif? Pertanyaan-pertanyan mungkin agak ngawur. Tapi ini perlu diluruskan.
   Vandalism harus juga diluruskan. Misal saya punya dua anak, yang pertama menyoret, terus yang kedua menyoret lagi. Apakah itu Vandalism? Mungkin bisa juga tidak.
   Saya rasa, saya cukup gelisah dengan berbagai tuduhan yang ditunjuk kepada teman-teman prasejarah ini. Mereka walau pun prasejarah bukan berarti mereka belum bisa berpikir.
   Dari pengungkapan sebelum sejarah. Saya melihat ini justru bukan seni. Itu menggunakan logika sekarang yang sudah mengerti otonimi seni. Bisa juga kita katakan seperti saintis bahwa ini jurnal. Buat saya pertanyaan-pertanyaan yang lebih pada lubang-lubang yang tidak kita ketahui.
   Dan, jadi, memang saya sempat terpikir pendapat pak Wahyu, bahwa tidak banyak artefak alat yang ditemukan di Sangiran. Di satu sisi kita bicara Sangiran juga menjadi masyarakat yang berpindah. Logikanya, kalau saya pindah rumah, saya juga akan membawa semua barang-barang saya.
   Tapi tadi saya juga sempat punya pengandaian, karena gak ada, siapa yang pergi dan ninggalin barnag-barangnya. Jadi proses no maden itu bukan hanya sekadar pindah. Tapi ada konsep yang sudah dikembangkan.

Wahyu Widianta:
   Perpindahan itu juga tidak hanya manusianya, minimal ada dua hal dalam proses migrasi itu. Mereka akan membawa alatnya, asumsinya memang ketika kita pindah rumah semua artefak kita bawa. Satu itu, kedua konsep. Itu juga dibawa. Seperti alat batu karakter arzoniat dengan ciri khas kapak genggam ditemukan hampir di seluruh sudut Sangiran. Ada satu alat, bahan, sama dengan tempat lain baik di semedo, pati ayam, bumi ayu, ada satu bahannya tidak ada di indonesia. ini membuktikan mereka berpindah. Dan di sangiran ada dua kemungkinan mengapa sedikit, mungkin data yang dietmukan baru sedikit. Dan kedua mereka bermigrasi ke arah timur semua dibawa termasuk alatnya.

7. Ian:
   Halo, saya Ian dari Jawa Barat. Sudut pandang akademisi mempengaruhi pelaku tutur budaya lokal, di mana temuan-temuan banyak ditemukan.
   Saya setuju itu disebut vandalism karena bukan karya seni. Ada usia-usia orang dengan tingkatan emosinalnya. Orang akan beralih dari vandalis ke rupa yang bagus. Saya pernah 9 tahun menjadi guru honor. Di TK pasti ada gambar-gambar tangan banyak sekali lukisan hewan yang bentuknya tidak sempurna? Pertanyaan saya lukisan di gua itu dibuat oleh anak-anak atau orang yang sudah dewasa.
pikiran awam saya.
   Yang kedua saya ingin tanya terkait intervensi peneliti dari barat.

Cia Syamsiar:
   Mungkin saja itu anak kecil. Kita boleh saja berasumsi. Kita semua di sini berasumsi dari sudut pandang kita. Terkait dengan mengapa saya mengatakan itu kolektif meski pun itu satu tangan, tetapi pikiran-pikiran yang ada di dalam karya itu apakah kita bisa membuktikkannya satu orang. Dan itu ditemukan tidak artinya, tidak semua tempat, tidak semua goa, hanya di tempat tertentu yang kalau kita masuk ke sana.
Wahyu Widianta:
   Asumsi boleh saja. Tapi ya kita juga harus melihat dari berbagai data yang ada. Misalnya lukisan goa tidak ditemukan di sembarang ruangan. Ada ruangan tertentu yang memang ada lukisan itu. Jadi memang mungkin tidak semua orang bisa mengakses ruang itu berfungsi sebagai ruang sakral. Tapi juga bisa menjadi ruang edukasi komunitas di dalam goa. Untuk melakukan satu aktivitas itu mendukung kehidupan mereka.
   konsep-konsep barat. Terkait ini diakui apa tidak, penelitian-penelitian yang dilakukan memang lebih didominasi oleh orang-orang barat. Saya berharap ini sudah saatnya, orng Indonesia yang harus naik di panggung international karena ini milik kita, ini daerah kita.
Ari Rudenko:
   Ini obrolan yang penting banget. Saya juga sebagai orang dari barat yang ada di sini. Rasanya benar-benar di tengah perdebatan ini. Saya juga bawa konsep seni pertunjukan berbasis sains. Dan bagaimana ini akan berinteraksi dengan kepercayaan dan budaya yang ada di sini.
   Satu kembali kepada basic sains dan seni. Kalau sains memang mencari objektifitas berbasis bukti yang seharusnya bisa disepakati semua orang. Buktinya nomor satu. Kalau teori kita merangkai ceritanya seperti apa, di sains tetap banyak masalah asumsi yang turun temurun yang ternyata kurang sesuai bukti yang ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *