Sebelum saya mengafirmasi atau menerapkan kontradiksi dengan judul diskusi Seni Modern Adalah Area Bencana, saya ingin memulainya dari adagium “Hana Nguni, hana mangke. Tan hana Nguni, tan hana mangke”. Adagium ini saya pakai untuk mengidentifikasi kemelekatan dan pemisahan kontruksi modern yang ada pada subjek pembuat judul dan serentak pula menatap “Aku”.

Bagaimana kita tahu seni modern itu area bencana dan yang bukan bencana adalah selain modern? Atau dalam konteks teater, bagaimana kita tahu realisme/acting drama yang representative adalah bencana dan yang bukan bencana adalah tanpa acting atau presentatif?
Judul ini memang terasa dogmatis di satu sisi, seperti halnya “Aku” yang telah membeli template modern dan template tradisi dengan motif husnudzon, terima saja dulu karena itu baik; atau motif suudzon, tolak dan bersihkan. Sisi lainnya silang-sengkarut.

Kalau pembuat judul ini dalam keadaan sadar, itu mantap!, karena wilayah sadar ditatap oleh psikoanalisis menjadi ilusi, sebab kesadaran terbentuk dari citra kesadaran komunal yang telah menjadi institusi di dalam kepalanya. Sedangkan kalau subjek pembuat judul ada dalam wilayah tidaksadar justru malah semakin bagus, karena hal itu mencerminkan komplikasi isme yang ada di dalam dirinya. Diri/subjek bisa dicurigai telah bertransformasi menjadi objek-pecah-belah lalu menganggap dirinya baik-baik saja.

Kira-kira apakah “aku” dipaksa untuk memilih: ya, betul! Atau ora betul!? Jangan sampai kita yang ada di sini seperti penonton drama realis atau film drakor yang didudukan sebagai kambing conge, atau budak atau penonton yang mengamini ilusi kesedihan yang ada di dalam pertunjukan. Lebih jelasnya mahasiswa tak berdaya menghadapi dosen yang “bego—bisa juga ekskavator” namun dianggap sebagai nabi penyelamat. Ahk..

Kembali pada Tan hana nguni, tan hana mangke”. Adagium ini saya pakai untuk mengidentifiki kemelekatan dan pemisahan kontruksi modern yang ada pada “Aku”.

Bagaimana “Aku” tahu seni modern itu area bencana dan yang bukan bencana adalah selain modern? Atau dalam konteks teater, bagaimana kita tahu drama realis/acting drama telah usang dan menjadi bencana, atau teater dramatic adalah bencana dan yang bukan bencana adalah post dramatik serta teater tradisi.

Berikut adalah landscape dari produksi pengetahuan “Aku”, bahwa aku terbentuk dari kerangka/citra konseptual primitive, peodalistik kerajaan, penjajah, nasionalis-orde lama, nasionalis-orba, reformis 98-99, dan masyarakat android. Atau dalam citra-sederhana yang lain, bahwa “Aku” terbentuk dari kontruksi pengetahuan Desa dan “Aku” yang dikontruksi pengetahuan Kota.


Landscape ini muncul dari upaya membentangkan pengetahuan yang didapat oleh “Aku”, bahwa produksi pengetahuan bisa ditatap sebagai jejaring yang mengandung suksesi, kofigurasi wilayah penyampaian dan prosedur-prosedur untuk menyisihkan formasi-formasi yang tidak dikehendaki (Foucault, 2012: 108-111).

Jika “Aku” memahaminya sebagai kontradiksi, maka aku bisa dianggap bagian dari suksesi golongan tertentu dan akan memilih wilayah-wilayah strategis untuk menyisihkan format yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini subjek bertransformasi menjadi objek pengetahuan karena motif yang digunakannya adalah template salah-benar atau desa-kota atau tradisi-modern yang memiliki citra kuasa untuk memilih dan menyebarkannya.


Penyebaran itu bisa dirujuk pada Bahasa yang sering digunakan oleh orang-orang tradisi (misalnya) ketika menjelaskan tradisi sebagai pakem, sudah dari sananya, tinggalan leluhur, akar budaya, adiluhung, wingit, dll. Atau orang modern yang menganggap dirinya telah mencapai tingkat “aufklarung” dan menjelaskan dirinya sebagai pembaharu, pembawa perubahan, autentik dll.

Cilakanya kedua penyebaran itu berhasil menyusup pada “Aku” dan kemudian diam-diam mendistribusikannya ke dalam pengetahuan yang juga disampaikan secara diam-diam.

Berikut saya kutip pidato Max Havelaar di hadapan Regen dan Adipati serta introduksi dari naskah drama Malam Jaham karya Motinggo Busye:


Max Havelaar-1860

“Ya, saya sangat gembira sudah terpanggil ke Banten Selatan!”

“Saya telah berkata pada wanita yang telah membagi masalah, dan melipatgandakan kebahagiaan saya: ‘Gembira, karena saya melihat timbunan berkah Allah di kepala anak kita! Dia telah mengirim saya ke tempat di mana tidak semua pekerjaan sudah diselesaikan, dan Dia telah menganggap saya berharga untuk berada di sana sebelummasa panen. Karena kegembiraan bukan terletak di potongan padi, namun di potongan padi yang ditanam sendiri. Dan jiwa manusia tidak tumbuh dari sewa, namun dari tenaga yang disewa.‘……

“Para pemimpin Lebak, banyak hal yang harus dikerjakan di daerah Anda!”

“Beritahu saya tidakkah petani itu miskin? Tidakkah padi Anda sering dimasak untuk diberikan kepada seseorang yang tidak menanamnya? Tidakkah banyak kelainan di tanah Anda? Tidakkah jumlah anak Anda sedikit?”

“Tidakkah ada rasa malu di jiwa Anda, ketika para penduduk Bandung, yang terletak di sebelah timur sana, mengunjungi lahan Anda dan bertanya: ‘Ke mana para penduduk desa, dan ke mana para petani? Dan mengapa saya tidak mendengar suara gamelan, yang membicarakan kebahagiaan dengan mulut kuningannya, tidak juga penumbukan padi oleh putrimu?'”

“Tidakkah pahit bagi Anda melakukan perjalanan menuju pantai selatan, dan melihat pegunungan yang tidak mengalirkan air dari sisinya? Atau jelasnya, pernahkah seekor kerbau menarik bajak?”

“Ya, ya…. saya berkata pada Anda bahwa jiwa dan pikiran Anda sedih karena hal-hal ini! Dan karena alasan itu kita berterima kasih pada Allah bahwa, Dia telah memberi kita tenaga untuk bekerja di sini.”


MALAM JAHANAM-Motinggo Boesje 1958

DIPINGGIRAN LAUT KOTA KAMI, PARA NELAYAN TAMPAK SELALU GEMBIRA MESKIPUN MISKIN. RUMAH MEREKA TERDIRI DARI GUBUK, TIANG BAMBU BERATAP DAUN KELAPA. SUARA MEREKA YANG KERAS DAN GURAUAN KASAR MEREKA, SEOLAH MENGESANKAN BAHWA MEREKA KURANG AJAR. BEGITU PULA PAKAIAN MEREKA, YANG LELAKI BERCELANA KATOK DAN BERBAJU KAOS HITAM DENANG GOLOK DIIKAT DI PINGGANG.KAIN SARUNG TERSELEMPANG, BERKOPIAH DAN MATA YANG TAJAM MENGESANKAN DARAH YANG KERAS.

PERERMPUAN DISINI BERBICARA PEDAS, PENUH GAIRAH DAN PAHIT. PAKAIAN MEREKA MENCOLOK DI TUBUH PADATNYA, MENCOLOK SEPERTI KETAWANYA YANG KERAS, SAMBIL BIBIR BERGINCU ITU MELEMPARKAN SENYUM YANG SEOLAH-OLAH KURANG AJAR.TETAPI BETAPUN SEBENARNYA, MEREKA, SEPERTI DIMANA-MANA MEMPUNYAI JUGA KELEMBUTAN HATI DAN KETULUSAN, BIARPUN MUNGKIN KETULUSAN YANG AGAK BODOH.MALAM INI SEMUA ITU TERJADI.

I

MALAM INI, PERKAMPUNGAN NELAYAN ITU, DIRUMAH MAT KONTAN DAN SOLEMAN TAMPAK SEPI. BARANGKALI HAMPIR SEISI KAMPUNG MELIHAT UBRUK, SEBAB BUNYI UBRUK DISEBELAH TIMUR BEGITU SAYU MENIKAM-NIKAM.HANYA UJUNG ATAP DAN TONGGAK BAMBU RUMAH SOLEMAN SAJA YANG TAMPAK DIKIRI. DEKAT TONGGAK BAMBU ITU TERGANTUNG SEBUAH LENTERA YANG DIOMBANG-AMBING ANGIN BARAT. ADA SEBUAH BANGKU DIBAWAH LENTERA ITU, BIASA DIPAKAI OLEH SOLEMAN UNTUK DUDUK-DUDUK, TAPI MALAM INI BANGKU ITU KOSONG.


Max Havelaar karya Multatuli adalah karya yang merepresentasikan anti-colonial, karena keberpihakannya pada masyarakat terjajah, bahkan karya itu dianggap melahirkan kebijakan politik etis bagi masyarakat terjajah, sedangkan Malam Jahanam karya Motinggo Boesje dalam konteks teater realis yang membawa spirit kebaruan dalam penulisan naskah drama dan mewakili konsep well made play, yaitu penggambaran teater dan situasi yang jelas, perkembangan kejadian yang diatur secermat-cermatnya, penuh kejutan-kejutan yang logis, penuh suspen dan ketegangan, serta kesimpulan akhir yang masuk akal dan dapat dipercaya (Sumardjo, 2021: 80).

Namun dalam hal ini, saya ingin menyoroti bagaimana dua sudut karya tersebut memandang masyarakat kesenian dan senimannya. Max dalam pidatonya-dengan jeli meminjam masyarakat Bandung untuk menciptakan “statemen-opinion” bahwa kemiskinan masyarakat Lebak-Banten bisa dilihat dari absensi bebunyian gamelan.

Sedangkan pada naskah Malam Jahanam, Ubrug (kesenian masyarakat Banten) dapat dimaknai sebagai media yang ampuh untuk mendorong masyarakat miskin-pesisiran meninggalkan rumahnya pada saat malam.

Dua karya tersebut membawa motif yang bisa kita maknai secara denotatif dan konotatif atau kontruksionis mental khusnudzon dan suudzon. Denotatif dan khusnudzon akan cenderung memaknainya secara positivistic, dimana objek material hanya dilihat dari kaca mata tunggal, bahwa kesenian di dua karya tersebut dipersepsikan secara objektif-ilmiah, hukum-hukum umum, penolakan metafisis, empiris bahwa kesenian di dalam teks tersebut sebagai salah satu objek kebahagiaan yang melekat pada citra orang miskin, dengan kata lain kesenian hanya dipandang sebagai hiburan, sedangkan konotatif dan suudzon justru akan membawa pemaknaan intertekstulitas. Kristeva menyebut intertekstualitas sebagai operasi ketiga dalam proses semiotik. Dan ia dapat dipahami sebagai ‘peralihan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya’ yang melibatkan ‘pengubahan posisi tetis – penghancuran posisi lama dan pembentukan posisi baru’ (Allen, 2006: 53).

Dalam membaca kesenian Ubrug dan bebunyian gamelan, saya ingin menguraikan terlebih dahulu prinsip nalar penabuh gamelan dan orang luar yang melihat-mempersepsi gamelan (opini internal-eksternal).

Jakob Sumardjo membagi dua prinsip nalar dalam memandang sesuatu yang meng-Indonesia secara epistemik. Yang satu berangkat dari nalar Aristotelian dan yang satunya lagi berangkat dari prinsip nalar primordial Indonesia. Bahwa ada tiga prinsip nalar aristotelian (modern) yang menguraikan kedudukan identitas: pertama, Prinsip Identitas dimaknai sebagaimana identitas itu sendiri, bukan yang lain dan tidak mungkin menerima dua identitas dalam satu indentitas; kedua, Prinsip Kontadiksi, suatu pengakuan identitas selalu bertolak belakang dengan pengingkaran terhadap identitas tersebut, dalam prinsip ini pemisahan dan pembedaan identitas sangat ditekankan; ketiga, Prinsip Menolak Kemungkinan Ketiga, yaitu pengakuan identitas tidak mungkin ada identitas ketiga yang mengandung keduanya secara mutlak (Sumardjo, 2014: 20-21)

Ketiga prinsip tersebut menurut buku Estetika Paradoks dianggap berseberangan dengan prinsip nalar primordial Indonesia yang bertolak dari nalar metafisika dan religius. Seberangan yang dimaksud terkait pemaknaan identitas bagi masyarakat primordial Indonesia, bahwa identitas itu memiliki kemelekatan dengan pasangannya, semisal, memaknai siang tidak hanya dari siang, ia mesti dilekatkan dengan malam, atau atas-bawah, lelaki-perempuan, lingga-yoni, tangible-intangible, mikro-makro dll, sehingga prinsip kontradiksi nyaris tak ada, sebaliknya yang kontradiksi justru diafirmasi, bahkan di dalam prinsip nalar primordial Indonesia menerima identitas ketiga sebagai identitas pararel-serentak.

Pemaknaan bunyi gamelan dan Ubrug dari prinsip nalar primordial Indonesia akan membentangkan pemaknaan secara kosmologis-harmonis. Bunyi gamelan bukan hanya bunyi yang diasosiasikan dengan kebahagiaan belaka, tapi ia menjadi bagian dari kesedihan, amarah dan puji-pujian, atau penanda dari ruang bunyi (area pertunjukan), ruang yang tidak berbunyi (area di luar pertunjukan) dan ruang bunyi ketiga sakral sekaligus profan.

Baik Max atau pun Motinggo, dapat dilacak sebagai subjek yang memiliki habitus modern, mempersepsikan kesenian sebagai objek-material yang ditafsir satu arah-tunggal. Kemeletakan modern tersebut sejatinya berlaku pada epistemic yang mempertentangkan tradisi dan modern, modern dan post-modern atau tradisi dan post-tradisi, bahkan saya curiga persepsi modernis mencair-merembes-menggenang dan melekat dalam benak si pembuat judul dan “Aku”.


Contoh epistemic modernis dalam setiap pertanyaan:

(1.) Bagaimana kedudukan seni dalam arus perubahan masyarakat? Dalam hal ini, kesenian agung dalam “kuasa” menjadi kesenian konseptual dan semacamnya di era modern? (2.) Di Solo, atau kota besar lain, bagaimana pergeseran iklim kesenian, katakanlah akademisi yang (katanya) memegang kendali, dengan praktik mahasiswanya? (3.) Apa contoh besar, atau suatu peristiwa penanda, modernisasi mahasiswa, terutama, atau juga bisa pelaku kesenian di luar yang menolak kuasa atau tak berpihak pada yang “satu”; (4.) Apakah terjadi bias antara seniman dan masyarakat yang kini dapat mengekspresikan dirinya di media sosial lalu dikomentari nyeni? Ini semacam perkembangan atau dampak dari modern; (5.) Rata-rata bangunan rumah di Indonesia sebagai identitas, atau seragam di ranah akademisi, terlihat sedikit berantakan belakangan ini. Maraknya pembangunan yang jauh dari apa yang dipercaya (sebagai orang indonesia), juga seragam yang dianggap “ikatan/mengikat”. Apa komentar anda tentang hal ini? Mengapa di satu sisi, kita mengikuti “kuasa” dan di sisi lain menolaknya. Atau jangan-jangan, ini dampak lain dari modern?; (6.) Kedudukan sebuah “nilai” terhadap suatu objek tidak lagi sentralistik, kedudukannya yang kian mencair menjadi perebutan pihak tertentu agar terlihat. Keberagaman yang ditemukan, terutama dalam dunia seni, tentu pada akhirnya adalah sebuah keniscayaan. Bagaimana posisi “nilai” di kesenian hari ini? Mungkinkah terarah atau justru terikat?; (7.) Dalam kaitannya dengan dunia seni yang tumbuh di iklim yang penuh tarik-menarik atas ragam pandang, teknologi, industri, dan hal berikat lainnya. Bagaimana dunia kesenian berjalan? Apa pengaruh terbesar yang kemudian menentukan?; (8.) Apa keuntungan kebenaran dapat dimaknai dalam berbagai sudut?; (9.) Keraguan yang muncul, kebenaran dimiliki oleh banyak hal, keindahan juga demikian, tetapi dalam pameran dan pertunjukan, kita masih menemukan kurator, tulisan, dan hal-hal terkait. Mengapa demikian? Apakah ada ketimpangan modern?

Jika saya menggunakan kerangka modernis pembentuk “Aku”, maka “Aku” akan memaknai pertanyaan pertama, dengan tegang dan akan mempertanyakan ulang pertanyaannya tersebut dan membaginya menjadi tiga bagian: pertama, perubahan itu cenderung ke arah mana sih: baik-buruk, usang-pembaharu, esensial-template, bentuk-isi? Sehingga perubahan dapat dianggap sebagai susunan/formasi yang koheren-logis; kedua, perubahan di masyarakat yang mana, skala mana, apakah masyarakat ini dimaknai sebagai objek atau subjek, jika objek maka dia cenderung dibaca secara tunggal dan tidak keberbagaian? Ketiga, orang modernis akan cenderung membuat kontradiktif antara seni yang agung dan konseptual.

Pertanyaan pertama ini, jelas memiliki motif menyingkirkan formasi-formasi yang tidak dikehendaki, motifnya masyarakat telah berubah ke arah seni konseptual tapi jika diselidiki wilayah mentalnya, jelas subjek pembuat pertanyaan modernis . Mungkin “Aku” yang modernis akan memakluminya: “Maklum la ya” subjektifitas “Aku”nya itu mengalami trauma pada seni-teater modern yang memiliki etos kerja ketat, disiplin dan dogmatis dalam memproduksi ketubuhan, sehingga “Aku”nya itu meloncat ke kesenian konseptual yang rileks namun tak kehilangan citra agung di benaknya, dan tak perlu berdarah-darah, seperti “Aku” sering olah tubuh atau melukis gaya realis beribu lembar untuk mengasah kelihaian goresan tangannya. Jadi jawaban pertanyaan pertama perlu dijawab oleh kesadaran “aku” yang ilusif dan telah membeli gagasan kontradiktif. Sepakat. 

Pertanyaan kedua pun sama, “Di Solo, atau kota besar lain, bagaimana pergeseran iklim kesenian, katakanlah akademisi yang (katanya) memegang kendali, dengan praktik mahasiswanya?” lagi-lagi membuat dikotomis antara akademis dan non-akademis, pakai kata “katanya” lagi. Ini yang membuat pertanyaan seneng banget mengkontradiksikan antara akademis dan non-akademis atau mahasiswa dan non-mahasiswa. Saya justru bertanya apa motifnya? Apakah ia ingin menunjukan identitas dirinya yang tidak berada di lingkungan akademis? Dia ini memaknai akademis dari material atau prinsipnya? Untung saja “Aku” yang tradisionil suka dengan kalimat ini, “Di Solo, atau kota besar lain, bagaimana pergeseran iklim kesenian”. “Aku” yang tradisionil itu pernah tinggal di beberapa wilayah: sukabumi, bandung, banten dan solo, pada dasarnya di keempat tempat tersebut pergeserannya tidak serentak ke satu arah, seperti yang dibayangkan oleh subjek pembuat pertanyaan yang selalu ingin kontradiktif. Sebagai subjek-masyarakat atau subjek-kelompok mereka didorong oleh ekosistem pembentuk estetikanya. Katakanlah “Seren Taun” di Ciptagelar tahun 2018, dirayakan selama tujuh hari tujuh malam, dan ada satu malam, kontennya dangdutan dan band. Apakah kita akan memaknai fenomena dangdut di acara tersebut sebagai pergeseran makna dari wilayah sakral ke wilayah profan atau dari tradisi ke mudiren, atau masyarakat di sana sudah kontemporer?

Sejak pemerintah daerah memiliki agenda pariwisata dan acara masyarakat adat dimasukan ke dalam agendanya, Seren Tahun patut dibaca dari dua arah, baik internal ataupun eksternal, sehingga setiap pergeseran tidak selalu dimaknai maju dan mundur “cyantik”, tapi diam itu juga bergeser dari kerangka Baduy yang memiliki filosifi “nu pendek ulah disambung, nu panjang ulang diteukteuk”, justru bukankah mereka tidak bergeser mereka maju dan merangsek pemikiran kita polutif yang selalu ingin memiliki progres dalam menemukan gagasan kebudayaan dan selalu bangga bahwa kita lolos proposal Indonesiana atau lolos aplikasi residensi. Akademisi hari ini mengalami depresi bukan karena gajinya kecil atau tidak naik pangkat, tapi karena mahasiswanya tidak mau membaca dan mereka merasa baik-baik saja, enjoy berselancar di medsos, mudah-mudahan kontennya viral.

Kembali pada “Aku” yang telah dikontruksi Clifford Geertz yang telah membagi masyarakat Jawa menjadi tiga golongan besar, yaitu santri, priyayi dan abangan, yang didasari tipologi keyakinan agama, nilai etis, dan ideologi politiknya. Atau mengafirmasi pandangan bahwa kesenian itu terbagi dua: kesenian keraton dan kesenian rakyat. Atau sastra realisme sosialis, atau sastra itu adalah sastra itu sendiri, atau sastra kontekstual, atau medan seni yang diruntuhkan Malna dan Danto, oh after the end of the art.

Dalam konteks kolonial dan post-kolonial, mimikri sering dianalisis sebagai strategi yang digunakan oleh kelompok yang dijajah untuk mengadopsi atribut-atribut dari penjajah mereka. Hal ini bisa mengakibatkan ambivalensi, di mana kelompok yang dijajah mengadopsi karakteristik dari penjajah untuk mendapatkan keuntungan atau legitimasi, namun pada saat yang sama tetap mempertahankan identitas dan nilai- nilai mereka sendiri. Homi K. Bhabha, seorang teoretikus postkolonial, menjelaskan mimikri sebagai salah satu cara di mana kekuasaan kolonial mencoba untuk mereproduksi dirinya sendiri melalui “pengulangan yang berbeda” (repetition with a difference). Menurut Bhabha, mimikri menciptakan efek “sama tapi tidak sama” di mana subjek kolonial meniru budaya penjajah tetapi dengan perbedaan yang tetap terlihat. Ini dapat mengancam kekuasaan penjajah karena menunjukkan bahwa kekuasaan mereka tidak absolut dan bisa diubah atau ditantang. Dalam kerangka yang lebih luas, mimikri dapat terjadi dalam berbagai konteks sosial, seperti di dunia kerja, pendidikan, atau budaya populer, di mana individu atau kelompok berusaha menyesuaikan diri dengan standar atau norma yang dianggap lebih diinginkan atau berpengaruh. Ini mencerminkan dinamika kekuasaan dan identitas di mana mereka yang meniru berusaha untuk memperoleh pengakuan, penerimaan, atau akses ke sumber daya tertentu.

“Aku” itu adalah dystopia dalam unity in diversity karena keberagaman dimaknai sebagai perbedaan sekaligus kontradiktif ala-ala modern, penuh penghakiman, cair namun akhirnya membeku dan tegang. “Aku” seharusnya menggeledah wilayah sadar dan tidaksadar, sehingga ia tahu lalu dan kini; hana nguni, hana mangke.


Trims,

*Peri Sandi Huizche

Roaster bagi kalian yang mengaku dirinya eskavator!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *