Plato pernah berpesan apabila negara itu baik berarti manusianya baik. Sebaliknya, apabila negaranya buruk, itu berarti manusianya pun buruk. Dengan perspektif lain, sesempurnanya sistem negara yang dibuat tetap saja bergantung pada manusia yang menjalankan. Pesan itu seolah bertaut dengan kisah tragis sosok guru Plato yang ia kagumi bernama Socrates.

Socrates dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah demokrasi Athena atas tuduhan merusak dan meracuni pikiran para pemuda, serta mengembangkan ajaran baru. Socrates harus mengakhiri pikiran kritisnya akibat penguasa yang skeptis dengan pikiran kritis rakyatnya. Kisah Socrates inilah yang memantik eksplorasi Plato dalam mewacanakan konsep-konsep pemerintahan.

Sekilas, Plato menyebut lima bentuk pemerintahan yakni aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Demokrasi yang disebut Plato sama halnya dengan sistem pemerintahan Athena yang saat itu menghukum mati Socrates. Prinsip demokrasi yang mengutamakan kebebasan individu, lambat laun individu yang sepaham akan berkumpul membentuk kerumunan atas dasar kesamaan suara.

Mutlak, suara mayoritas yang terorganisir itu berpotensi menggiring massa dalam demokrasi. Alih lain, suara mayoritas yang berbangga dengan kuantitas terkadang lupa mengolah kualitas kerumunannya. Kerumunan yang “lupa” seperti demikian menjadi sasaran empuk target pengendalian pihak-pihak berkepentingan. Sebab, kerumunan-kolektif berpotensi menjadi basis pendukung atau malah menggulingkan kekuasaan dengan nalar kritis. Sehingga, penguasa akan cekatan mengambil sikap menggandeng atau memangkas kerumunan yang dicap liar.

Kerumunan yang “lupa” persis fenomena citra manipulatif individual yang marak di media sosial. Individu akan mudah hanyut manipulasi bahkan tergiring hoaks yang diproduksi. Kerumunan individu tanpa paradigma pandang akan mudah terprovokasi. Dipecah belah dan dikendalikan untuk memihak suatu kepentingan. Di sinilah potensi terjadinya kekacauan berpikir. Pada momentum demikian, dibutuh ruang dialektika sebagai sarana keluasan perspektif. Menetralisir kekacauan dan penyeimbang pikiran.

Ruang itu akan menjadi wadah pencarian negasi suara mayoritas. Ruang yang dengan bebas mempertentangkan ide-ide dengan kepala dingin. Ruang yang berusaha mewarisi konsep academia buatan Plato sebagai wadah kebijaksanaan dan kemampuan. Sebab perluasan pandang memang membutuhkan wadah multiperspektif dan multidisiplin untuk membuka berbagai kemungkinan di luar perspektif individual. Supaya tak terkungkung dalam tempurung pemahaman diri.

Ruang itu akan menjadi madu sekaligus racun. Madu bagi individu yang mempertanyakan ulang eksistensi komunal. Sudahkah berjalan dalam lajur keadilan, kebijaksanaan, kebersamaan dan kebaikan. Sebaliknya, menjadi racun bagi kalangan berkepentingan yang tak menghendaki keadilan, kebijaksanaan, dan mementingkan keuntungan individual. Sebab, individu berpaham sempit itu akan menganggap perbedaan sebagai batu sandungan. Musuh yang harus dimusnahkan.

Ruang dialektika ada dengan maksud menjadi kanal beragam keresahan untuk dipikirkan ulang. Sejauh mana keresahan itu muncul dan bagaimana mengelola keresahan tersebut. Langkah awal untuk say goodbye kepada keresahan lama menuju keresahan yang lainnya. Tentunya, pantikan itu sebagai stimulan kemunculan tindakan lanjutan. Kerumunan yang sepaham akan bergandengan tangan bergerak mencari solusi dari keresahan yang telah dikeluhkan.

Dengan berdialektika, kerumunan individu akan tetap terjaga kewarasannya. Tak terseret arus dan menjadi kerumunan yang lupa. Perlu ada lontaran kontradiktif agar tak me-nabi-kan satu sosok atau satu pemikiran. Yang disinggung Fstvlst sebagai orang-orang di kerumunan berjejalan di lingkaran/ Mengitari satu altar sesembahan/ Mereka menari dengan mata terpejam, kerasukan/ Jiwanya sudah tak lagi bersemayam (FSTVLST- Orang-orang di Kerumunan).

Menghidupkan Ruang Dialektika

Ruang dialektika kiwari ini dapat dipersamakan dengan konsep trend kolektif atau kolaboratif. Banyak kalangan yang berkerumun membentuk wadah kolektif atau kelompok berdasarkan kesamaan pikiran. Tengok saja saat ada isu yang hangat diperbincangkan, akan muncul aliansi kritis-dialektik yang merespon perbincangan isu.

Di tingkat paling bawah struktur negara juga berdiri kerumunan kolektif bernama kelompok tani. Pendiriannya juga atas dasar ikatan keresahan terkait problematika pertanian. Di ruang urban pun sama. Kerumunan ojol, pedagang kali lima, pekerja kantoran, guru, dosen, mahasiswa, hingga para seniman pun membentuk kelompok kolektif serupa. Semua berusaha bersiasat untuk mengelola keresahan bersama. Berjalan sesuai koridor keadilan, kebijaksanaan, dan kebaikan atau tidaknya bergantung pada proses dialektika dalam kerumunan. Barang pasti, kerumunan atau kolektif bukan barang baru lagi bagi masyarakat Indonesia.

Baru-baru ini, di lingkar kesenian Surakarta juga menghadirkan kembali ruang dialektika. Kolektif seni bernama Tilik Sarira mencoba membuat FGD bernama Tilikan secara luring — yang sebelumnya daring. Pada tilikan #4 lalu (11 Juni 2023) dengan mengambil tajuk Apakah Mencipta Seni Itu Mudah dan Ilmiah? Coba ditelaah dalam perspektif multidisiplin ilmu. Para penilik (baca: pemantik) yang berasal dari dosen teater, peneliti seni, penulis, seniman fotografi, seniman keris, seniman pertunjukan, dan mahasiswa seni hadir untuk menyemai kontradiksi.

Keresahan yang titik beratnya pada mahasiwa seni atau seniman “sekolahan” yang merasa terbebani dua kali proses yakni mencipta karya seni dan memenuhi urusan keilmiahan membumbumi perbincangan. Apalagi, ekspetasi awal mahasiswa seni yang mengira hanya mencipta seni ternyata harus menuliskannya dalam karya ilmiah. Perspektif lintas disiplin ilmu penting melihat permasalahan ini.

Dapat dipastikan, FGD dari luar institusi terkait tak akan merubah kebijakan apapun. Setidaknya keresahan mahasiswa mendapat rumah. Tak menjadi grundelan yang lama-lama jadi bisul. Harapannya tetap sama, supaya suara minor ini tetap bisa mewarnai ruang penciptaan seni dan didengar oleh pihak terkait. Meskipun tak ada kesepakatan resmi, beberapa catatan FGD menunjukan perlunya bentuk keilmiahan sebagai amplifikasi karya yang tercipta.

Keilmiahan dalam kampus seni memang dirasa agak problematis. Aturan umumnya sama dengan kampus non-seni yang lebih terbiasa menulis dan biasa (sekadar) merangkai kajian Pustaka. Bukan eksperimen penciptaan yang kadang tak ditemui kesamaannya. Sebab, ilham ide penciptaan seni muncul dari keberserakan pengetahuan yang juga multi-input. Tentunya, kadang tak ter-cover dalam aturan institusional. Pola dan mekanisme kerjanya juga agak berbeda dengan kampus non-seni. Apakah tak butuh penyesuaian perspektif keilmiahan dan kebijakan institusional?

Kehadiran kolektivitas memang penting ditengah stagnasi eksklusivitas petak ilmu. Ruang pertemuan multiperspektif perlu hadir untuk memecahnya. Di sana pula terpampang aturan “lepas jubah anda agar dapat mengurai keresahan dan meretas stagnasi pikiran” dengan prinsip keterbukaan dan perbanyak kerja kolaboratif. Limitasi institusional selayaknya dipandang sebagai aturan yang butuh penyesuaian zaman. Demi berjalannya ekosistem yang sehat dan mampu mengikuti arus perubahan.

Mengingatkan pada teks Sumanasantaka, bahwa tan tunggal mārga ning kādyan asěmu hawan ing munggah ing parwatāgra: tidak ada jalan tunggal menuju kesempurnaan, sebagaimana tak hanya satu jalur kepuncak gunung (128.1). Berbenah atau memilih tergilas zaman. Perlu bergandengan tangan untuk mengurai segala macam stagnasi dan sempitnya pikiran.

Frengki Nur Fariya Pratama, Alumnus Sastra Jawa UNS dan Magister Sastra Undip.