Masifnya perkembangan media sosial ditambah kecanggihan artificial intelegence di era kiwari menciptakan dunia semakin riuh, tak terkecuali dunia seni. Pada 2022, terjadi perdebatan di antara seniman dan penikmat seni Amerika karena lukisan ciptaan kecerdasan buatan bertajuk Théâtre D’opéra Spatial berhasil memenangkan kompetisi Colorado State Fair[1]. Lahir anggapan kemenangan tersebut telah menandai keterancaman dunia seni.
Seni sebagai dunia yang bebas, penuh lipatan, dan memacu pelbagai pantikan, membuatnya sangat mungkin melahirkan catatan tertentu ketika terceletuk pertanyaan: apakah seni bisa dilombakan? Karena tidak sedikit yang meyakini bahwa perlombaan seni merupakan salah satu titik pembentukan kreativitas seseorang atau kelompok. Dari situ, karya dinilai berdasar ragam indikator yang telah ditentukan. Juri sebagai pemegang kuasa penilaian membubuhkan angka-angka untuk menentukan karya mana yang layak menempati posisi teratas hingga terbawah.
Latar belakang aliran seni yang digeluti para juri juga tidak dapat ditanggalkan sepenuhnya. Pengaruh kedekatan personal antara peserta dan juri juga tak ada yang tahu dalam penentuan hasil. Terlebih, tidak sedikit pula keluhan di belakang layar bahwa bayaran juri dengan hadiah peserta justru lebih rendah.
Dengan begitu, hadirnya pertanyaan nakal mengenai apakah hasil penilaian bersandar pada konsep keadilan pun tak dapat dibendung. Adanya regulasi lomba menyatakan bahwa keputusan juri tidak dapat diganggu dan digugat, menyebabkan fenomena rasan-rasan tiada henti pasca pelaksanaan lomba. Wacana cukup menggelitik di mana kedudukan seni selama ini dipahami sebagai sesuatu yang luas akhirnya menjadi terbatas.
Memang pada kenyataannya siapa mendapat nomor dalam lomba seni lekas memperoleh pengakuan publik, memperluas jaringan, dan sebagainya. Namun, bagaimana dengan yang tidak menduduki podium? Apakah kemudian dibiarkan terpelanting begitu saja? Atau, cukup dirutuki dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang tak tidak terkurasi dalam lini skena lomba. Atau memang karya yang dilombakan tak layak dimenangkan—termasuk dari penilaian publik.
Keadaantersebut menegasikan bahwa perlombaan seni pada pelaksanaannya menimbulkan pelbagai pertanyaan. Maka, rasanya perlu didedah peranan perlombaan seni dalam menghadirkan dampak kepada ekosistem kesenian. Baik untuk pengembangan seniman maupun pemahaman masyarakat terkait seni.
Banyak kemungkinan terjadi akibat suatu karya seni. Keberadaan seniman dengan basis kerja kolektif juga semakin menjamur. Hal itu menandai geliat alternatif antarpelaku seni dan proses penciptaan. Lebih lanjut, terkadang ditemukan pula gagasan—idealisme, prinsip, keputusan—yang menggugat kenapa jalan lain mesti ditempuh.
Rasanya hal-hal pendorong mindblowing tersebut asyik juga dibicarakan. Dengan begitu, terdapat pantikan gagasan untuk mendudukan persoalan pertanyaan awal. Jika bisa dilombakan kenapa? jika tidak bisa kenapa? Adakah alternatif lain? Mungkin saja keberadaan pertanyaan tersebut mampu meramaikan kesenian dengan komentar khas warganet era kiwari: di luar nurul atau tak habis fikri.
Realitas di Lapangan, Gugatan, dan Gagasan[2]
Terkadang sesuatu yang dianggap faktor x (baca: lain), terbaca sebagai gosip. Upaya mengangkat pembicaraan entitas seni di tingkat gorong-gorong terkait perlombaan seni memunculkan ragam uraian: penyelenggaraan, regulasi, pengembangan kreativitas, persoalan finansial, zaman, hingga pergulatannya.
Titik tolak diadakannya perlombaan seni tentu mengemban sebuah misi, baik untuk temuan estetik atau artistik. Riset merupakan hal mendasar mengapa suatu lomba mesti terselenggara. Sejalan dengan itu, lomba memiliki prestise tinggi sebagai daya tawar terhadap peserta maupun pemajuan ekosistemnya.
Selain itu, pertanggungjawaban keputusan juga berkedudukan vital di mana publik yang hendak mengajukan perspektifnya memiliki argumentasi kuat, sehingga perdebatan yang berlangsung bukan hanya sekadar dianggap gosip. Tetapi, memiliki jangkauan keterbacaan pengaruh terhadap penciptaan, pengkajian, dan tuntutan nilai kebaruan.
Alih-alih memberikan pertanggungjawaban, selama ini yang acapkali ditemukan hanyalah pemeringkatan. Maka, terjadi standarisasi yang membuat perkembangan seni cenderung stagnan. Petunjuk pelakasanaan dan petunjuk teknis yang rata-rata salin-tempel dari penyelenggaraan sebelumnya atau kompetisi lain juga persoalan yang perlu ditilik. Sebab, karakteristik setiap perlombaan sangat mungkin berbeda.
Meski begitu, terdengar menyakitkan kala perlombaan seni bersandar pendapat “yang penting anggaran turun…” atau “yang penting tahun ini terselenggara…”. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadi intervensi dari pihak yang memiliki kuasa. Di sini, kredibilitas dan integritas juri sangat diperhitungkan.
Persoalan lain yang ditemui para juri kompeten di lapangan di antaranya adalah juri lain yang tidak memiliki kompetensi terkait perlombaan. Kondisi demikian tentu memberatkan. Dibanding mempertimbangkan kompetensi, justru menghadirkan kesan meremehkan antusiasme dan keseriusan peserta.
Kompleksitas tersebut menandai bahwa perlombaan seni sangatlah seksi di hadapan: mungkin serius, mungkin biasa, mungkin perlu diperjuangkan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dalam perkembangan seni itu sendiri. Selain itu, juga berguna sebagai rekaman zaman di masa depan.
Lalu, bagaimana dengan peserta? Tentu ini sebuah persoalan pelik. Mereka membutuhkan sumber finansial untuk proses kreatifnya. Hadiah lomba adalah salah satu siasat guna mengakomodasi kepentingan tersebut berbentuk subsidi silang. Meski terkesan membatasi eksperimen dan pengembangan seni, namun relatifnya kebertahanan masing-masing seniman menempatkan kacamata lain.
Tema, memungkinkan seniman mengembangkan persepektifnya. Tarikan di luar sesuatu yang besar sangat mungkin hadir, sehingga segi kreativitas yang kerap dikatakan minim mampu ditembus. Jika di kemudian hari dianggap aneh pun, berarti telah menjelma sebuah pembicaraan.
Di sisi lain, kemungkinan adanya ragam daya kritis gagasan. Irisan tersebut menunjang wacana yang tersaring dari pengalaman, identitas, kondisi sosio-kultural, dan metode yang digunakan padan terhadap karya yang lahir. Bangunan yang ada setidaknya lekas membenang dengan konteks zaman atau bahkan melampauinya.
Eksperimen yang diupayakan setiap seniman menegasikan ragam pendekatan penciptaan yang bisa dipilih. Gagasan yang ditawarkan pun dapat tersalurkan kepada juri dan publik setelahnya. Hal yang cukup mendasar untuk memperkirakan sejauh mana karya tersebut memperoleh penilaian yang pantas—meski kembali lagi kepada subjektivitas juri.
Dalam kaitan terhadap strategi pemasaran dan komersialisasinya, perlombaan seni yang berjalan sirkular dan memiliki prestise dapat memengaruhi laju industri maupun alternatif. Pembicaraan di pelbagai kalangan perihal karya pemenang memungkinkan terjadinya hal tersebut. Dengan begitu, kelayakan pemenang dan juri teruji di masa mendatang.
Karena itu perlombaan seni hendaknya dilihat sebagai ruang mencari tahu atau amatan ruang—zaman. Sebagai bidang yang beririsan dengan medium lain, melalui dialektika kesenian terbangun keluasan pandang. Mitigasi terhadap risiko subjektivitas seyogianya menjadi acuan evaluasi, sehingga perlombaan seni tak hanya sebatas mengejar gayeng-gayengan saja.
Rasanya dua pilihan jawaban: iya atau tidak, tak cukup meruangi pertanyaan awal. Zaman terus bergerak. Seni pun begitu. Ruang kemungkinan mesti direngkuh oleh seni, apa pun di hadapannya.
Rudi Agus Hartanto, mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci.
[1] https://www.vice.com/id/article/bvmvqm/lukisan-dibuat-aplikasi-midjourney-berbasis-kecerdasan-buatan-menang-lomba-seni-colorado-memicu-perdebatan-seniman. Diakses 27 September 2023.
[2] Diolah dari catatan penulis selaku moderator Tilikan #7 bertema Apakah Seni Bisa Dilombakan?, Heterospace, 30 September 2023.