Apakah mencipta seni itu mudah dan ilmiah? Satu pertanyaan yang coba digali pada acara Tilikan #4, Minggu malam (11 Juni 2023) di Hetero Space. Hal menarik yang dapat dijadikan sandaran adalah survey yang dilakukan salah satu penilik bernama Wahono. Dari cakupan 22 mahasiswa, 19 mahasiswa berekspetasi kuliah di perguruan tinggi seni untuk berkarya. Ekspetasi itu terbentur dengan kebijakan peniadaan penciptaan karya sebagai tugas akhir. Mahasiswa diarahkan untuk membuat skripsi sebagai syarat kelulusan. Permasalahan ini seolah membawa stigma bahwa penciptaan karya bukanlah suatu bentuk keilmiahan dalam kampus seni.
Hingga kini, paradigma seni dalam kampus memang masih menui perdebatan. Permasalahannya adalah mendudukan paradigma seni dalam habitus keilmiahan. Lagi-lagi, perbincangannya ada pada bentuk keilmiahan umum kampus yang bersebrang dengan kesenian. Apalagi, ekspetasi mahasiswa seni adalah dapat lulus dengan jerih payahnya mencipta karya seni. Namun, kebijakan tak menghendaki demikian. Mahasiswa seni tetap harus lulus dengan skripsi ataupun jurnal.
Habitus pengajaran yang terjadwal, ilmu-ilmu pengantar seni, metode-metode penggalian ide dan penciptaan, managerial, dan jenjang pemberian ilmu yang terinstitusikan tak cukup mewakili proses akademisi seni yang ilmiah. Penciptaan karya seni tak dapat menjadi syarat kelulusan untuk menebus ijazah. Seniman “sekolahan” tetap harus dengan skripsi dan jurnal.
Pandangan dalam kesenian yang puncak ekspresinya adalah penciptaan karya seni dianggap belum memenuhi kriteria keilmiahan dalam kampus. Masalah demikian menjadi momok negatif kampus seni. Keilmiahan hanya terpaku pada luaran skripsi maupun jurnal. Penciptaan karya baru tak lagi menjadi luaran yang dianggap berdampak bagi perkembangan seni di Indonesia. Tolak ukur demikian dirasa menyimpang dari tujuan pendirian perguruan tinggi seni. Yakni wadah konservatorium dan laboratorium seni di Indonesia. Lalu, apakah penyamaan luaran keilmiahan itu tak memunculkan permasalahan baru?
Pertanyaan ini membawa pada beragam penggalian terkait kesenian dan keilmiahan dalam kampus seni. Anwari sebagai praktisi teater menyebut bahwa dalam penciptaan hal pertama yang dilakukan adalah riset untuk mendasari proses penciptaan. Menurutnya, riset menjadi penting untuk memilah kecocokan tafsir kreator dengan fenomena di lapangan.
Persinggungan awal Anwari dilakukan dengan memahamkan imajinasi teater kepada masyarakat Madura dengan tatengghun atas dasar kedekatan etnosentris Madura. Penciptaan yang dilakukan pun menyandarkan pada fenomena yang ada di masyarakat. Cangkul, kemudian garam, alat bajak, dan kekaguman perempuan Madura dengan lagu-lagu India dipakai sebagai perwakilan (media) kultur yang dekat dengan masyarakat Madura. Kedekatan kultur hasil tampakan kedekatan kultural itu yang dipakai Anwari karya yang salah satunya berjudul Tatengghun. Judul karya yang juga nermotif mendekatkan masyarakat Madura pada teater modern. Kelogisan untuk menampilkan rekonstruksi fenomena tetap menjadi pijakan dalam penciptaannya.
Pernyataan Anwari pun dipertegas oleh frengki yang lebih mempertebal posisi keilmiahan dalam penciptaan seni. Sejalan dengan pandangan Anwari bahwa keilmiahan yang bersifat logis berada pada proses penciptaan. Lalu, fenomena riset penciptaan dikonstruksi ulang dalam betuk seni. Hasil pemikiran kreator dengan dengan pandangan subyektif ini menghasilkan bentuk yang unik atau khas. Secara umum, keunikan inilah yang menjadi titik kontradiksi dengan keilmiahan yang mencari generalisasi. Sehingga dalam FGD harus tegas mendudukan perbincangan paradigma seni dalam ruang kampus atau seni dalam masyarakat. Tri Puji Handayani pun menyambung perbincangan. Jika pembincangan menitikberatkan kontradiksi seni dengan ilmiah dalam kampus, dosen-dosen kampus seni akan lebih pantas membicarakannya. Sebab dalam FGD masing-masing penilik mempunyai bekal pandangan masing-masing.
Membaca seni dan ilmiah dalam kampus memang problematis. Peri Sandi sebagai salah satu dosen di kampus seni mengutarakan ada banyak aturan birokratis dan kategorisasi yang membiaskan cara berpikir. Berkenaan dengan penciptaan seni dalam kampus, Peri Sandi menekankan bahwa mencipta seni itu hanya butuh kemampuan mengurai dan mendudukan. Persoalannya ada pada resource yang seharusnya diperbanyak dan diperluas. Imbuhnya, jika mahasiswa hanya terhenti pada kemampuan keaktoran (main) saja tak perlu mencapai S.Sn. Sebab, kampus juga memiliki aturan struktural birokratis dari hulu hingga hilir.
Intan Anggun Pangestu sebagai seniman keris juga melihat permasalahan seni dengan ilmiah dari dua sisi. Mahasiswa seni yang tentunya lebih dekat berlabel seniman mempunyai dua kewajiban. Pertama, mencipta karya seni sebagai bentuk ekspresi atau ide pikiran seorang seniman. Lalu, mengontruksikan ekspresi atau ide penciptaan itu ke dalam bentuk tulisan atau laporan sebagai kewajiban kedua.
Meskipun kebanyakan mahasiswa seni kewalahan dalam hal tulis-menulis, kewajiban kedua ini tak kalah penting bagi mahasiswa seni. Paradigma ini dapat menjadi garis pemisah mana seniman dari kampus seni dan mana yang bukan. Seperti halnya contoh studi kasus keberagaman perspektif pemaknaan keris yang terpengaruh etnografi dan geografi yang diungkapkan Ridwan Maulana Yasifun. Posisi keilmiahan berguna untuk menelusuri representasi yang paling mendekati. Begitu pula kewajiban mahasiswa seni bersinggungan dengan keilmiahan berguna untuk mengurai dan mendudukan beragam problematika dalam kesenian.
Dalam perspektif lain, seni dapat dikatakan sebagai panjang tangan dari keilmiahan. Bentuk interpretasi seorang seniman yang mengalami transformasi ke dalam bentuk yang lebih subyektif atau kekhasan personal. Terdistribusi dalam sebuah bentuk karya untuk kembali ditafsir oleh penikmat seni. Tak berhenti pada interpretasi dengan luaran teks saja. Namun teks dalam bentuk lain.
Keliyanan teks yang menekankan pandangan semiotik ini menjadi wadah tampung semesta tafsir seorang seniman terhadap fenomena yang dilihatnya. Di dalamnya memuat kompleksitas tafsir yang ditawarkan kepada penafsir lain. Pada titik ini terjadi ulang-alik tafsir yang akan menghidupkan diskursus baru.
Maka tak heran dalam FGD tilikan #4 indra agusta mewanti-wanti untuk melihat keutuhan dari sebuah karya seni. Bahwa memandang karya seni bukan seperti membeli daging cincang di pasar. Pembeli hanya tahu bahwa itu adalah potongan daging dari satu sudut pandang. Bukan melihat pra dan pasca makhluk hidup penghasil daging itu ada. Ibarat sekadar memotong secuil tafsir dari kompleksitas dalam karya seni.
Nur Handayani juga menegaskan, dengan mengutip pendapat professor Rahayu Supanggah bahwa karya seni yang bagus itu adalah karya seni yang bisa memberi perenungan setelah melihat atau mengapresiasi karya seni. Karya seni akan membuka ruang tanya yang memantik lahirnya tafsir dari penikmat. Tafsir dari karya seni yang terdistribusi akan terus berkelindan dan berkemungkinan memunculkan respon tafsir-tafsir baru.
Karya seni yang multi-tafsir tersebut tak bisa dipandang hanya dari satu sudut tafsir. Keindahannya terletak pada kompleksitas tafsirnya. Menjejalkan beragam kemungkinan tafsir yang menghantui kepala penikmat seni. Tak menyuguhkan tafsir secara telanjang bulat kepala penikmatnya. Dengan kata lain, memberi kebebasan tafsir yang berambu semiotik-estetik. Seperti yang diutarakan syahrizal bahwa seni nampak bebas, namun kebebasannya terikat rambu-rambu layaknya jalan raya yang seolah melaju bebas namun terikat simbol tata aturan berlalulintas.
Rambu-rambu juga berlaku dalam perspektif kreator. Di mana, sang kreator akan memilah ide/gagasan, kelogisan, emosi, sosial, simbol dan fenomena yang dekat dengan penikmat. Rambu ini akan menjadi tali sambung yang bermuara pada timbulnya kesan dan impresivitas penikmat seni. Sehingga, karya seni tak sekadar kepuasan sang seniman namun dapat menggait kepuasan penikmat. Perspektif demikian menjawab pertanyaan terkait kemudahan dalam penciptaan seni.
Pertanyaan mencipta seni itu mudah atau sulit memang cederung menghasilkan jawaban subyektif. Proses penciptaan seni yang butuh beragam pertimbangan menandaskan adanya kompleksitas hubungan tak kasatmata dalam karya seni. Memperluas bingkai pandang dari sekadar titik karya seni ke hal-hal yang mengitarinya. Penilaian mudah atau sulitnya penciptaan seni bergantung pada perspektif dan bingkai pandang sang apresiator.
Bingkai pandang ini pula mempengaruhi pantas tidaknya seni disandingkan dengan keilmiahan. Sebab seni seolah bebas, acak, subyektif, dan tak menampakan pola generatifnya. Bertolakbelakang dengan keilmiahan yang bertopang pada keberaturan metodologi dan teori.
Diskusi makin seru manakala ruang teknologi terbawa dalam pembahasan. Ribetnya urusan birokratis dan keilmiahan dalam kampus seni terkeruhkan lagi dengan keberadaan AI yang dapat mencipta karya seni. AI berposisi sebagai pendukung kreativitas seniman atau (mungkin) mematikan seniman. Otinel Tasman membuka perbincangan dengan satu terminologi menarik bernama homo cyborg.
Manusia yang tak bisa terlepas dari gawai pintarnya menjadi titik hadirnya terminologi homo cyborg. Gawai seolah menjadi perpanjangan tangan manusia memantau segala aktivitas yang terjadi di seluruh dunia. Hampir seluruh pancaindranya dibantu oleh gawai untuk menjelajah tempat-tempat tak terjangkau. Efek negatifnya adalah berkurangnya kepekaan dan kesadaran diri manusia.
Sebagai seniman yang juga mencoba bereksperimen dengan teknologi, Otniel Tasman menekankan untuk memahami kelogikaan teknologi. Agar tak salah-kaprah memahami logika dan fungsi teknologi dalam eksperimentasi penciptaan seni. Lagi-lagi, muncul kata kunci kepekaan dan kesadaran seniman sebagai manusia. Dan seni bermain-main pada ruang kepekaan demikian.
Membawakan kehaluas estetika ke depan penikmat untuk rehat sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Memutar ulang kesadaran dan kepekaan darinseorang manusia. Titik impresivitas ini yang dieman-eman hilang dari Indonesia. Posisinya pun sangat berbeda dengan ruang keilmiahan yang kering rasa. Pembelaan petingnya seni hidup pun lebih menekankan khawatir hilangnya rasa. Pada sudut seniman kampus, ruh (baca: estetika) dalam seni yang tetap tak rela digantikanntulisan ilmiah.
Hilangnya penebalan penciptaan dalam kampus seni pun mengawatirkan ekosistem seni. Kampus non-seni yang punya wadah ilmu humaniora ikut tersandung juga. Hasil penciptaan karya seni dalam kampus seni yang berpotensi menjadi objek kajian berangsung akan berkurang. Pemajuan seni Indonesia dan kebaruan pun akan makin sulit ditemukan.
Dosen kampus seni yang getol mencipta karya baru pun mulai gundah. Angka kredit penilaian pegawai yang disamaratakan dengan kampus non-seni membuat mereka memilih jalan pragmatis. Pilih membuat jurnal dan penelitian yang mudah dan menguntungkan. Dosen seni yang merasa karyanya tak dihargai memilih menghentikan daya kreatifnya. Yang bertahan memilih abai dengan aturan birokrasi akademik. Terjadilah krisis guru besar potensial dalam kampus seni.
Stereotipe kampus seni sebagai gudang kreativitas menjadi sepi penciptaan. Efek domino absennya tuladha kreativitas dosen yang sam-sama terganjal masalah penghargaan karya ciptaan dari institusi penaungnya. Mahasiswa pun memilih jalur pragmatis yang sama. Pilih meredam daya kreativitasnya yang terganjal aturan birokrasi ke jalur aman membuat karya ilmiah dari potongan karya-karya terdahulu. Daya produktifitas kreatif pun dapat mengalami krisis.
Tak heran, beberapa dosen seni melakukan kritik terhadap kebijakan ini. Kritik itu disampaikan oleh panitia adhoc Pedoman Kesetaraan Karya Ilmiah di Lingkungan Fakultas Seni Rupa dan Desain yang ber-SK Senat ITB Nomor 18/SK/I1-SA/OT/2017. Laporan ini berisi kajian aturan kementerian untuk memberi kesetaraan karya seni dengan karya tulisan ilmiah sebagai prasyarat utama kenaikan pangkat/jabatan akademik. Usulan terfokus untuk merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 92, Tahun 2014, tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen. Tim adhoc mengusulkan agar penciptaan karya seni juga masuk dalam pertimbangan utama angka kredit kenaikan jabatan.
Hingga saat ini, permasalahan ini pun belum terselesaikan. Pujiharto dalam satu Stadium General bertajuk Membaca Era Baru Demokratisasi Sastra dan Budaya Kekinian di Undip Semarang(up23 Juni 2023) mengungkapkan telah terjadinya krisis guru besar dalam kampus seni. Masalah itu dipicu habitus penciptaan seni dalam kampus seni yang tak masuk dhitungan angka kredit meskipun secara reputasi karya seninya bertaraf Internasional. Masalahnya adalah terganjal produktivitas jurnal ilmiah yang lebih sedikit ketimbang karya penciptaan seninya.
Permasalahan kontradiksi seni dan ilmiah demikian perlu penyikapan. Keduanya harus berjalan dengan porsi dan ketentuannya masing-masing. Misal dalam perbincangan ekosistem seni secara umum, seperti pendapat Dzariq, jika seniman “sekolahan” tak paham porsi dan fungsinya akan menyebabkan penyerobotan ladang kesenian masyarakat. Blind spot ini menurutnya harus dipahami oleh seniman “sekolahan” dalam ekosistem seni agar kepentingan bersama tetap berjalan.
Imbuh dzeriq, posisi seniman “sekolahan” berkewajiban memikirkan roadmaps pemajuan kesenian. Bagaimana seni Indonesia dapat berinovasi mengikuti zaman dan bersaing dikancah internasional. Pada posisi ini kajian tetap penting dipelajari oleh seniman “sekolahan” yang memang diajarkan paradigma ilmu di kampus seni dan melek perkembangan seni dunia. Sehingga, antara seni dan ilmiah sama-sama penting bagi perkembangan seni Indonesia.
Pada diskusi Tilikan #4 membuktikan antara seni dan ilmiah sangat beririsan bergantung porsi dan tujuannya. Keduanya tak bisa dipisahkan begitu saja. Mahasiswa seni perlu bertanya ulang posisi dan fungsinya dalam ruang kesenian tanpa menggugurkan kewajibanya sebagai akademisi seni. Aturan birokrasi yang seolah tak berpihak pada kampus seni memang patut dipertanyaan ulang. Apakah saat ini huruf S dalam akronim IPTEKS itu benar-benar telah hilang atau terlupakan.
Dengan begitu pertanyaan apakah mencipta seni itu mudah dan ilmiah? Tentu kembali pada seberapa jauh seni dimainkan sang kreator. Untuk apa, mengapa, dan kepada siapa seni itu dilahirkan. Kembali pada tanya “Sejauh mana dampak perenungan dari karya seni yang tercipta?”.